DPR Sahkan Omnibus Law Lebih Cepat, Demo Mulai Terjadi di Beberapa Kota

DPR Sahkan Omnibus Law Lebih Cepat, Demo Mulai Terjadi di Beberapa Kota

[ad_1]

DPR Sahkan Omnibus Law  RUU Cipta Kerja Lebih Cepat, Serikat Buruh Siap Demo Nasional

Aksi demo buruh menolak RUU Cipta Kerja di Kota Surabaya, pada Agustus 2020. Foto oleh Juni Kriswanto/AFP

Ketok palu pimpinan rapat paripurna DPR RI meresmikan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang, Senin (5/10) sore. Kebijakan ini diambil parlemen tiga hari lebih cepat dari jadwal.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Achmad Baidowi, mengatakan percepatan rapat dilakukan karena penyebaran virus corona semakin mengkhawatirkan. Dengan demikian, pada Selasa besok (6/10) atau hari dimulainya demonstrasi dan mogok nasional tolak RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR RI, diharapkan sudah tidak ada lagi aktivitas di dalam gedung parlemen.

Sebagaimana informasi yang beredar, Partai Nasdem, Golkar, PDIP, Gerindra, dan PPP mendukung penuh RUU Cipta Kerja. Sedangkan PAN mendukung dengan catatan. Tensi rapat paripurna sempat menegang ketika Partai Demokrat dan PKS mengungkapkan ketidaksetujuannya. Fraksi Partai Demokrat akhirnya walk out sebab tidak diberi kesempatan berbicara lebih lanjut setelah pimpinan rapat menyatakan suara mayoritas sepakat mengesahkan RUU Cipta Kerja.

Sepanjang hari ini, tagar #DPRKhianatiRakyat dan frasa “RUU Cipta Kerja” trending di Twitter. Mayoritas publik mengecam tindakan pemerintah mempercepat pembahasan. Demonstrasi yang sebelumnya dijadwalkan dimulai 6 Oktober dipercepat menjadi hari ini, mulai pukul 16.00 WIB.

Massa di Sleman, DIY serta Makassar, Sulawesi Selatan, menggelar aksi jelang maghrib merespons sikap DPR. Di Simpang Gejaya, Sleman, perwakilan massa berorasi sebelum kemudian membubarkan diri pada  pukul 19.17 WIB. Sementara itu, aliansi buruh dari Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi sedang berkumpul untuk menggelar aksi di gedung DPR. Jumlah massa diperkirakan mencapai 5.000 orang. Selain buruh, pegiat lingkungan juga memprotes UU Cipta Kerja karena memberi karpet merah eksploitasi sumber daya alam serta membuat AMDAL tak bertaji lagi.

Aktivis menganggap Presiden Jokowi berperan besar mendorong beleid kontroversial itu disahkan DPR lebih cepat dari jadwal, tanpa mempertimbangkan penolakan sebagian unsur masyarakat.

“Jokowi Presiden yang mengembalikan oligarki ke posisi sentral di Indonesia. Dan ini juga instrumen utama kembalinya otoritarian ke Indonesia. Apalagi rakyat mencatat RUU ini inisiatif pemerintah,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati kepada Tirto. Persis kasus RUU KPK, Asfin menyebut satu-satunya cara menunda pemberlakuan UU Cipta Kerja ada di tangan Jokowi. Menurut UU 12/2011 Pasal 69, presiden bisa mengeluarkan nota penundaan pembahasan.

“Jokowi pernah menunda kesepakatan tingkat II untuk RKUHP. Karena itu, Jokowi bisa melakukannya lagi. Presiden penentu, bukan DPR. Presiden tidak sepakat, enggak jadi UU itu,” terang Asfin.

Mosi tidak percaya kepada pemerintah dan DPR RI diungkapkan Fraksi Rakyat Indonesia (FRI), aliansi yang beranggotakan berbagai organisasi. “Rakyat menuntut hentikan pembahasan dan batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pemerintah dan Parlemen telah melakukan pengkhianatan kepada rakyat dan konstitusi. [RUU Cipta Kerja] menunjukkan pemerintah dan DPR telah menjadi antek penjajahan investor jahat dan koruptor,” kata juru kampanye Greenpeace Indonesia Asep Komaruddin, yang turut tergabung dalam aliansi.

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan, mogok nasional 6-8 Oktober akan dihadiri lima juta buruh di ribuan perusahaan di 25 provinsi dan 300 kabupaten. Mogok melibatkan pekerja di industri kimia, energi, pertambangan, logistik, dan perbankan. Selain buruh, Asfin menyebut berbagai kelompok mulai dari mahasiswa, petani, sampai akademisi turut menolak.

UU sudah disahkan, pemerintah dan pengusaha bahu-membahu mendelegitimasi demonstrasi dengan berbagai cara. Melalui telegram, Kapolri Idham Azis telah memberi perintah untuk “melakukan apa saja agar demonstrasi bubar”. Gabungan aparat terpantau sudah siap menghalau aksi massa. Polda Metro Jaya menyiapkan hampir sepuluh ribu personel gabungan untuk mengantisipasi demo di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat. Alasan Polri, mereka enggak ngasih izin demonstrasi karena PSBB melarang kerumunan dan keramaian.

“Ribuan personel itu terdiri dari TNI 1.490 [orang], BKO 297, dan Polri 7.559. Kami mengimbau kepada para pendemo hari ini sampai tanggal 8 Oktober, untuk sebaiknya tidak usah datang karena sama sekali kami enggak mengeluarkan izin,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus, dilansir Tempo. Aparat turut disebut-sebut dapat gelontoran uang Rp97 miliar untuk “perang dunia maya” melawan narasi yang menyudutkan pemerintah.

Untuk melengkapi penderitaan rakyat, Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Sarman turut urun pernyataan dengan menyebut mogok nasional enggak sah dan bisa dikenai sanksi. Sarman mengatakan, mogok baru bisa diterima apabila sudah ada perundingan dulu antara buruh dan perusahaan yang berujung gagal. Lalu, buruh wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada perusahaan dan dinas tenaga kerja setempat tujuh hari sebelum mogok. Kalau dilanggar, pengusaha berhak ngasih sanksi.



[ad_2]

Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *