[ad_1]
Setelah sebelumnya sempat menjadi wilayah dengan pusat penyebaran COVID-19 terbesar di Indonesia, Jakarta akhirnya dapat bernafas lega sejenak karena pada Kamis (7/10) wilayah Ibu Kota mencatatkan nol kematian akibat virus tersebut.
Pencapaian itu disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengatakan bahwa dalam 24 jam terakhir sejak Rabu (6/10) pukul 18.00 WIB, tidak terdapat permintaan pelayanan pemakaman dengan prosedur tetap COVID-19 di wilayah Jakarta.
“Alhamdulillah!. Nol kematian di hari ini sama sekali bukan perayaan, karena pandemi jelas belum selesai. Ini adalah pengingat bahwa, atas izin Allah SWT dan atas ikhtiar kita semua, sebuah hari tanpa kematian COVID-19 adalah mungkin untuk dicapai,” ungkap Anies dalam akun instagramnya, Kamis (7/10) malam.
Meski begitu, Anies menekankan bahwa perjuangan belum berhenti. Semua pihak harus tetap berikhtiar untuk tetap menjaga agar lebih banyak hari dimana tidak adanya kematian akibat perebakan wabah virus corona ini.
“Kita pernah mengalami kondisi yang berat, bahkan sangat berat di bulan Juli lalu. Jangan sampai kita kembali ke titik itu,” tuturnya.
Harus Konsisten
Pakar Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan pencapaian yang diraih oleh Jakarta menunjukkan adanya perbaikan strategi penguatan mulai dari hulu ke hilir dalam penanganan pandemi. Meski begitu, ia mengatakan bahwa strategi yang diterapkan dapat dikatakan berhasil jika pencapaian tersebut dapat dipertahankan secara konsisten.
“Tentu ini akan dilihat apakah (angka kematian nol) menetap atau enggak? Sebetulnya kalau sudah 28 hari (pencapaiannya) menetap (dengan) kondisi tidak ada kasus (baru), (dan) tidak ada kematian, (baru) sudah bisa confidence (untuk mengatakan bahwa telah terjadi) perbaikan yang sifatnya signifikan,” ungkapnya kepada VOA.
“Tetapi kalau masih kurang dari dua minggu ya masih belum bisa kita pastikan. Tapi bahwa ada progress iya, tapi potensi naik turunnya masih ada dan ini tentu harus menuntut kehati-hatian,” tambah dia.
Lebih lanjut Dicky menjelaskan, klaim terkendalinya situasi pandemi COVID-19 di Indonesia belum bisa dipastikan. Hal ini mengingat situasi pandemi pada level global masih bersifat dinamis, apalagi banyak negara pada saat ini sedang mengalami gelombang ketiga yang tentunya akan berdampak kepada kondisi dan situasi pandemi di tanah air. Dengan begitu, menurutnya tidak menutup kemungkinan perebakan wabah virus corona di Ibu Kota bisa kembali meningkat.
“Situasi ini akan berpengaruh termasuk ke Indonesia apalagi Jakarta yang merupakan daerah yang sangat aktif, menjadi hub untuk banyak daerah. Orang keluar masuk dari banyak daerah, dan masalahnya yang hidup di Jakarta itu dari berbagai macam daerah, ini yang bisa membuat Jakarta berpotensi jadi gelombang ketiga,” jelasnya.
Jangan Larut dalam Euforia
Sementara itu, Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengklaim Indonesia terbilang cukup baik dalam mengatasi gelombang kedua pandemi COVID-19. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya kasus selama 11 minggu berturut-turut. Selain itu, dengan berbagai kebijakan yang telah diambil, menurutnya pemerintah berhasil menekan lonjakan kasus pada gelombang kedua dalam kurun waktu dua bulan.
Meski begitu, Wiku tetap mengingatkan semua pihak untuk tidak lengah dalam menerapkan protokol kesehatan agar terhindar dari ancaman gelombang ketiga akibat mobilitas dan aktivitas masyarakat yang perlahan namun pasti sudah kembali normal. Untuk mencegahnya, Indonesia terus belajar dari pengalaman keberhasilan beberapa negara yang secara cepat mengatasi lonjakan kedua dan ketiga, seperti India, Jepang, Vietnam dan Turki.
“Kecepatan dan ketepatan penanganan COVID-19 yang dilakukan oleh sebuah negara mengindikasikan ketahanan sistem kesehatannya, serta kemampuan adaptasi seluruh lapisan masyarakatnya terhadap permasalahan kesehatan,” ungkap Wiku.
Belajar dari pengalaman negara-negara tersebut, masyarakat Indonesia diminta untuk tidak mengalami euforia yang berlebihan mengenai penurunan kasus COVID-19. Wiku meminta masyarakat untuk tetap berdisiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
Ia mencontohkan, warga di India sempat merasa aman dan kembali beraktivitas tanpa menerapkan protokol kesehatan. Akibatnya, terjadi lonjakan kasus dan angka kematian yang tajam pada gelombang kedua.
“Karena euforia ini pula, laju vaksinasi cenderung menurun dibandingkan saat lonjakan kasus pertama. Langkah penanganannya dengan meningkatkan testing, kembali menerapkan wajib masker, menggencarkan vaksinasi, dan menerapkan lockdown,” katanya.
Wiku memperingatkan bahwa potensi kenaikan kasus akan selalu ada. Maka dari itu, ia mengatakan bahwa diperlukan kerja sama dari semua pihak yakni seluruh elemen masyarakat dan pemerintah agar dapat mengawasi seluruh aktivitas masyarakat yang berpotensi meningkatkan penularan seperti kegiatan keagamaan, wisata, ekonomi dan sosial.
“Pembukaan kegiatan pariwisata utamanya pada turis asing perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Persiapan pembukaan pintu masuk negara memerlukan persiapan matang dimulai dari proses skrining ketat pelaku perjalanan, dan memastikan protokol kesehatan diterapkan dengan ketat, mulai dari transportasi, penginapan, hingga obyek pariwisata baik oleh turis maupun masyarakat lokal,” kata Wiku.
“Pemerintah daerah wajib mengendalikan dan mengawasi jangan sampai pembukaan sektor pariwisata menyebabkan lonjakan kasus,” pungkasnya. [gi/rs]
[ad_2]
Source link