Memaknai globalisasi berarti memaknai suatu proses dimana bangsa-bangsa terkondisikan dalam situasi untuk menerima kultur, tradisi, dan nilai-nilai yang dianggap universal. Memaknai globalisasi bukan berarti hanya menerjemahkan istilah ini menjadi istilah sejenis seperti westernisasi atau Amerikanisasi. Barangkali secara sederhana dapat dilakukan dengan melihat beberapa fenomena seperti banyaknya orang memakai jeans Levis dan alas kaki Converse, Nike atau Reebok dan, makan di resto cepat saji seperti KFC atau McDonald. Amatilah juga pengunjung resto atau cafe saat ia mengetik di laptop Mac atau saat ia berinteraksi lewat Black Berry Messenger, atau smartphone dengan sistem operasi android.
Amati pula apakah ia menggunakan jejaring sosial seperti facebook dan twitter sambil berfoto ria dan menguploadnya di instagram serta menikmati soda Pepsi atau Coca-Cola. Mungkin pula mereka sedang nongkrong di Café Bean dan Starbucks. Atau bisa jadi kita tengah bersantai menonton TV drama Korea, berita di CNN atau menonton bareng liga Inggris dan liga Italia atau berbagai hiburan lain di stasiun TV kabel sambil makan Pizza Hut atau Dunkin Donut pada TV plasma bermerk Sony, LG atau Samsung. Serbuan beberapa brand dalam benak dan lifestyle kita mengisyaratkan bahwa dunia ini memang makin tak punya batas, atau borderless, atau meminjam istilah Marshal Mc Luhan sebagai global village.
Desa Global menggambarkan ketiadaan batas waktu serta tempat yang jelas, sebagai akibat dari cepatnya arus informasi massif di masyarakat. Informasi dapat terakses dari satu tempat satu ke belahan dunia lainnya dalam hitungan waktu yang super cepat, dengan memakai teknologi internet. McLuhan, beberapa puluh tahun lalu memprediksikan bahwa manusia akan bergantung terhadap teknologi, khususnya teknologi komunikasi serta informasi. McLuhan ternyata telah memperkirakan kondisi empat dasawarsa atau apa yang kita sebut sebagai sekarang ini. Pada masa yang disebut digitalized dan computerized tersebut terjadi perubahan cara serta pola komunikasi. Masyarakat tentunya mengalami sebuah revolusi komunikasi, dan berdampak pada komunikasi antar individu.
Bertentangan dengan “kekuatan” teknologi media massa, manusia tidak akan mengagumi internet seperti pada awal kehadirannya di tengah masyarakat, sekalipun Internet dapat menghubungkan satu orang dengan orang lainnya dalam tempat yang berjauhan, menyampaikan banyak pesan ke tempat yang berlainan dalam satu waktu bersamaan. Perkembangan teknologi seperti yang dinyatakan dalam desa global, membawa dampak positif dan negatif.
Dampak positifnya adalah orang selalu bisa mengetahui kabar terbaru yang terjadi di tempat lain, dapat berkomunikasi dan terhubung walau dalam jarak ribuan mill, mencari dan bertukar informasi. Adapaun dampak negatifnya adalah internet-addicted, merasa tidak bisa hidup tanpa internet, bahkan muncul fenomena orang merasa lebih “eksis” di dunia maya daripada di dunia nyata, sehingga menggangu hubungan sosialnya dengan orang lain.
Dalam buku The World is Flat, Thomas L. Friedman mengatakan bahwa dunia ini didatarkan oleh konvergensi 10 peristiwa utama yang berhubungan dengan politik, inovasi dan perusahan. Perkembangan cepat yang membuat manusia menjadi semakin sibuk, menjadikannya bisa melihat satu dengan yang lain walau pada belahan bumi yang berbeda.
Memang, menurut asal katanya, kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang bermakna universal. Seringkali ‘globalisasi’ ditafsirkan tidak lebih sebagai sarana legitimasi atas proses pembaratan atau “westernisasi” dan sebagai cara yang lebih “sophisticated” untuk melakukan westernisasi. Menurut kamus Macmillan English Dictionary, ‘globalisasi’ diartikan sebagai:
“the idea that the world in developing a single economy and culture as a result of improved technology and communications and the influence of very large multinational companies”.
Term “globalisasi” yang diyakini mulai marak pada pertengahan dasawarsa 80-an dan dipopulerkan oleh Theodore Levitt tahun 1985 telah bergeser dan meluas pengertian dan maknanya yang dulunya hanya sekedar merujuk pada bidang politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan. Paling tidak presiden Amerika Serikat saat itu, Ronald Reagen telah melontarkan ide ide seperti “revolusi neoliberal” yang salah satu tujuan utamanya adalah membiayai berbagai ragam program persenjataan Amerika Serikat dalam pertempurannya dengan blok timur atau yang lebih dikenal dengan nama blok komunis.
Sehubungan dengan hal tersebut Wayne Ellwood menyatakan:
Around 1980 things began to change with the emergence of fundamentalist free-market governments in Britain and the US and the later disintegration of the state-run command economy in the former Soviet Union. The formula for economic progress adopted by the administrations of Margaret Thatcher in the UK and Ronald Reagan in the US called for a drastic reduction in the regulatory role of the state.
Instead, government was to take a back seat to corporate executives and money managers. The overall philosophy was that companies must be free to move their operations anywhere in the world to minimize costs and maximize returns to investors. Free trade, unfettered investment, deregulation, balanced budgets, low inflation and privatization of publicly-owned enterprises were trumpeted as the six-step plan to national prosperity.
Buku “The World is Flat” juga menyibak gambaran berjalannya peradaban dunia saat ini. Jika Colombus berhasil membuktikan bahwa dunia ini bulat, maka Friedman secara ironis telah “membuktikan” bahwa dunia ini datar. Saat ia menuju India dengan menumpang Lufthansa yang tentunya mempunyai GPS sebagai penunjuk arah yang tepat, ia telah menghindari kesalahan yang dilakukan Colombus yang telah keliru dalam “memperhitungkan” jarak.
Kehidupan yang dia jalani di sudut kota Bangalore, India tak ubahnya dengan sudut kota Kansas. Lapangan golf tempat ia bermain tak ubahnya sudut sudut yang ia kenal. Beberapa nama brand ada disana seperti Microsoft, IBM, HP, Goldman Sachs, juga Texas Instruments, Bahkan sang Caddy memakai topi 3M serta nama nama yang familiar baginya seperti Epson yang ada pada penanda tee golfnya. Pada rambu lalu lintas malahan tertera tulisan Texas Instruments, serta papan billboard Pizza Hut yang bertuliskan “Gigabites of Taste”.
Yang membuat Columbus dan Friedman “berbeda” salah satunya adalah aspek pencariannya. Columbus mencari “hardware” atau hasil bumi, sementara Friedman mencari “software” India yakni kekuatan otak, algoritma kompleks, pekerja intelektual, pusat layanan informasi dan terobosan baru teknologi serat optik sebagai sumber kekayaan masa kini. Yang membuat perjalanan ini menarik adalah rasa terkaget kagetnya Friedman saat orang India yang ditemuinya beraksen Amerika, menggunakan nama Amerika, juga menggunakan teknik bisnis ala Amerika.
Dengan demikian Friedman menyimpulkan “Orang India” yang dia temukan telah mengambil alih pekerjaannya, pekerjaan orang-orang di negaranya dan juga negara industri lain. Jika Columbus secara tidak sengaja menemukan Amerika yang dia kira bagian dari India, Friedman justru menemukan India dan mengira bahwa yang dia temui adalah bagian dari Amerika!! Dengan demikian Friedman telah membuktikan bahwa dunia ini sudah jadi datar.
Globalisasi pada kenyataannya telah berlangsung sejak lama. Wayne Ellwood menyebutkan bahwa proses globalisasi paling tidak sudah dimulai lebih dari lima abad yang lalu. Sementara itu menurut Friedman dalam bukunya “The World is Flat” diutarakan bahwa pada saat ini masyarakat dunia masuk ke dalam globalisasi “versi 3.0”. Globalisasi versi 1.0 dianggapnya dimulai pada era kolonialisme, sehingga dikatakannya bahwa negara kolonial sebagai pihak yang diuntungkan.
Globalisasi versi 1.0 ini ditandai dengan perjalanan kelas dunia dari Columbus di tahun 1492, serta pergerakan lain hingga era 1800-an. Proses ini dianggap menjadikan dunia menyusut dari ukuran besar ke sedang. Globalisasi tipe ini berkaitan dengan negara serta otot. Pelaku utama serta kekuatan penyatuan global ialah seberapa gigih, seberapa besar otot, seberapa besar tenaga kuda, tenaga angin, tenaga uap yang dipunyai suatu negara. Dengan demikian, motor penggerak globalisasi versi awal ini adalah adalah meng-globalnya negara.
Pada globalisasi versi 2.0 ditandai dengan munculnya perusahaan “Multi-National Company (MNC)”. Globalisasi versi ini berlangsung antara kurun waktu 1800 hingga 2000. Era ini menjadikan dunia menyusut dari ukuran sedang menjadi ukuran kecil. Dalam globalisasi tipe ini pelaku utama dan kekuatan penyatuan global tak lain adalah perusahaan-perusahaan multinasional.
Perusahaan-perusahaan tersebut mengglobal dan mendunia demi pasar dan tenaga kerja. Pada masa awal, penyatuan global dimotori jatuhnya biaya pengangkutan berat mesin uap dan kereta api. Berikutnya dimotori oleh jatuhnya biaya telekomunikasi berkat penyebaran telegraf, telepon, PC, satelit, serat optik, Word Wide Web versi awal. Terjadi pasar global dengan adanya pergerakan barang, jasa, informasi dan tenaga kerja dari benua ke benua. Motor penggerak Globalisasi 2.0 adalah meng-globalnya perusahaan.
Versi terakhir dari globalisasi, yakni versi 3.0 sudah tidak terlalu menyoal tentang kewarganegaraan atau menjadi bagian dari MNC melainkan aspek pemberdayaan individu yang didukung oleh kekuatan dari “Information Technology” lah yang paling utama. Globalisasi versi 3.0 dimulai tahun 2000, yang menyusutkan dunia dari ukuran kecil menjadi sangat kecil dan mendatarkan lapangan permainan. Era yang memungkinkan memberdayakan dan melibatkan individu serta kelompok kecil untuk dengan mudah menjadi global dengan sebutan “tatanan dunia datar” (flat world platform).
Contoh nyatanya adalah konvergensi (penyatuan) antara komputer pribadi yang memungkinkan setiap individu dalam waktu singkat menjadi penulis materi mereka sendiri secara digital, serat optik yang memungkinkan mereka untuk mengakses lebih banyak materi materi di seluruh dunia dengan murah, serta workflow software yang memungkinkan individu-individu di seluruh dunia untuk bekerja bersama-sama mengerjakan suatu materi digital dari manapun, tanpa menghiraukan jarak antar mereka. Motor penggerak Globalisasi 3.0 adalah kekuatan baru yang ditemukan untuk bekerjasama dan bersaing secara individual dalam kancah global. Dengan demikian, Wayne Ellwood yang menyebutkan bahwa proses globalisasi paling tidak sudah dimulai lebih dari lima abad yang lalu, rasanya memang beralasan.
Jika Friedman membagi masyarakat menjadi tiga versi, Marshal McLuhan, media-guru dari University of Toronto memetakan sejarah kehidupan manusia ke dalam empat periode yakni: a tribal age (era suku atau purba), literate age (era literal/huruf), a print age (era cetak), dan electronic age (era elektronik). Menurutnya, transisi antar periode tadi tidaklah bersifat bersifat gradual atau evolusif, akan tetapi lebih disebabkan oleh penemuan teknologi komunikasi.
Era pertama atau “The Tribal Age” dipandangnya sebagai era purba, saat manusia hanya mengandalkan indera pendengaran dalam berkomunikasi. Jadi, telinga adalah “raja” ketika itu, sehinnga pepatah “hearing is believing” adalah ciri khasnya. Komunikasi pada era itu hanya mendasarkan diri pada narasi, cerita, dongeng tuturan, dan sejenisnya. dan kemampuan visual manusia belum banyak diandalkan dalam komunikasi. Era primitif ini kemudian tergusur dengan ditemukannya alfabet atau huruf sebagai penanda dimulainya the “age of literacy”. Era kedua atau “The Age of Literacy” diukur saat orang mulai menemukan alfabet atau huruf, sehingga muncul perubahan dalam cara kita berkomunikasi.
Manusia berkomunikasi tidak lagi mengandalkan tuturan, tapi lebih kepada tulisan. Dengan demikian, indera penglihatan akhirnya menjadi dominan di era ini, mengalahkan indera pendengaran. Era ketiga atau “the Print Age” memandang mesin cetak sebagai faktor yang menjadikan tulisan bisa menjadi sumber inspirasi hingga belahan dunia lain. Mesin cetak mengubah wajah dunia sehingga kata kata menjadi sebuah kekuatan yang utama. Kehadiran mesin cetak, dan kemudian media cetak, menjadikan manusia lebih bebas lagi untuk berkomunikasi.
Era terakhir atau “the Electronic Age” memandang penemuan penemuan terkini semisal telegram, telepon, radio, film, televisi, VCR, fax, komputer, dan internet, sebagai faktor yang sangat menentukan. Manusia kemudian menjadi hidup di dalam apa yang disebut sebagai “global village”. Media massa pada era ini mampu membawa manusia mampu untuk bersentuhan dengan manusia yang lainnya, kapan saja, di mana saja, seketika itu juga.
McLuhan menekankan inti permasalahan pada term “teknologi”. Beragam “hi-tech innovation” dalam teknologi komunikasi dan informatika-lah yang sebetulnya telah mengubah wajah kebudayaan manusia. Jika Karl Marx, penulis “Das Kapital” menyebut bahwa “sejarah ditentukan oleh kekuatan produksi,” maka McLuhan lebih menyoroti pada perubahan mode komunikasi-lah yang mentransformasi bentuk eksistensi manusia.Bahkan, tidak terlihat lagi satu segi kehidupan manusia pun yang tidak bersinggungan dengan media massa. Mulai dari ruang keluarga, dapur, sekolah, kantor, pertemanan, bahkan agama, semuanya berkaitan dengan media massa. Hampir-hampir tidak pernah kita bisa membebaskan diri dari media massa dalam kehidupan kita sehari-hari.
Marshall McLuhan, menyatakan bahwa the medium is the mass-age. Media adalah era massa. Ini berarti saat ini manusia hidup di era yang unik dalam sejarah peradaban manusia, yaitu era media massa, atau era media elektronik!! Media pada hakikatnya telah benar-benar mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertingkah laku manusia itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa saat ini kita berada pada era revolusi, yakni revolusi masyarakat menjadi massa, oleh karena kehadiran media massa tersebut!
Sementara itu, cakupan dan proses globalisasi diidentifikasikan oleh Arjun Appadurai dalam 5 (lima) tipe saling keterkaitan global yakni Ethnoscapes, Financescapes, Ideoscapes, Mediascapes, dan Technoscpes. Dari paparan diatas makin dapat dipahami bahwa globalisasi merupakan suatu fase sejarah yang ingin menghilangkan batas ruang dan waktu dalam kehidupan manusia yang meliputi aspek ekonomi, komunikasi, politik, dan sosial.
McLuhan juga menyebutkan bahwa media massa adalah ekstensi atau perpanjangan dari inderawi manusia (extention of man). Media tidak hanya memperpanjang jangkauan kita terhadap suatu tempat, peristiwa, informasi, tapi juga menjadikan hidup kita lebih efisien. Lebih dari itu media juga membantu kita dalam menafsirkan tentang kehidupan kita. Pada bukunya yang berjudul “Medium is the message” dalam sudut pandang McLuhan, fungsi atau peran media itu sendiri lebih penting daripada isi pesan yang disampaikan oleh media tersebut.
Misalkan saja, mungkin isi tayangan di televisi memang penting atau menarik, akan tetapi sebenarnya kehadiran televisi di ruang keluarga tersebut menjadi jauh lebih penting lagi. Televisi, dengan kehadirannya saja sudah menjadi penting, bukan lagi tentang isi pesannnya. Kehadiran media massa telah lebih banyak mengubah kehidupan manusia, lebih dari apa isi pesan yang mereka sampaikan.
Dengan demikian, masalah yang nanti muncul berkaitan dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi adalah manusia terlihat didominasi oleh teknologi komunikasi atau alat yang diciptakannya sendiri. Teknologi komunikasi menjadi tampak seperti mengontrol kita!! Sebagai contoh, betapa gelisahnya kita kalau sampai terlewat satu episode sinetron kesayangan yang biasanya kita tonton tiap hari. Atau mungkin kalau kita sudah lebih dari seminggu tidak mengupdate situs halaman facebook, twitter, atau menonton serial TV kesukaan kita di internet. Satu hari saja tidak mengikuti favorit tertentu membuat seakan akan kita telah jauh tertinggal banyaknya informasi di hari itu atau fear of missing update.
Kehadiran media massa, dan segala kemajuan teknologi komunikasi yang lainnya, seharusnya menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Namun ketika yang terjadi justru sebaliknya, kita menjadi didominasi oleh media massa dan teknologi komunikasi yang semakin pesat tersebut, maka ini menjadi sebuah ironi.
Dengan kata lain, setiap penduduk di muka bumi ini adalah masyarakat dunia yang tidak lagi memiliki batas territorial. Karenanya, ia bebas melanglang buana ke seluruh penjuru dunia. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dampak langsung dari keberhasilan revolusi teknologi-komunikasi, setelah didahului oleh dua revolusi dalam kebudayaan manusia, yaitu revolusi pertanian dan revolusi industri.
Namun demikian, revolusi ini tidak berlaku secara merata di seluruh dunia. Karena itu, tingkat kemajuan suatu bangsa tidak sama. paling tidak, negara-negara Barat adalah lebih dahulu melewati fase revolusi pertanian dan industri yang karenanya menyebabkan mereka terdepan dalam era globalisasi. Oleh karena itu, maka yang terbayang dalam benak kita adalah westernisasi atau bahkan Amerikanisasi. (Ferry Ismawan)
Ilustrasi : Fatman.fi