[ad_1]
Bencana alam likuefaksi yang dipicu gempa kuat berkekuatan 7,4 Skala Richter (SR) dua tahun silam di kota Palu dan kabupaten Sigi memberi pembelajaran penting bagi upaya mengantisipasi kejadian serupa di masa yang akan datang. Edukasi dan sosialisasi bahaya bencana gempa bumi dan bencana ikutannya, seperti tsunami dan likuefaksi, harus dilakukan secara berkala kepada masyarakat.
Semak belukar kini memenuhi sebagian besar permukaan tanah di lokasi Likuefaksi di kelurahan Petobo, Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Beberapa tempat di kawasan bekas pemukiman seluas 180 hektar itu kini menjadi tempat penggembalaan ternak sapi.
Taufiq Wira Buana, penyelidik bumi di Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, menjelaskan, Likuefaksi dalam gempa di Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018, adalah gempa yang pertama kali menyebabkan pergerakan massa tanah hingga jauh. Likuefaksi adalah fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat getaran gempa.
Taufiq menjelaskan likuefaksi terbagi dua tipe. Yang pertama adalah tipe non aliran, yang paling umum terjadi, dengan skala lokal atau setempat, seperti peristiwa semburan pasir di Lombok Utara pada 2018 dan di Pidie Jaya, Aceh, pada 2016.Tipe kedua adalah likuefaksi aliran seperti yang terjadi di Petobo dan Jono Oge, Sulawesi Tengah.
“Likuefaksi itu bisa terjadi bila kekuatan gempa atau guncangan berhasil merusak ikatan, susunan tanah. Tanah itu kan punya partikel-partikel, punya ikatan. Nah kekuatan seperti itu yang bisa menyebabkan likuefaksi,” jelas Taufiq dalam diskusi daring bertema Pembelajaran Kejadian Gempa Bumi Palu, Sigi dan Donggala 2018, Senin (28/9) pekan lalu. Diskusi itu digelar oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Likuefaksi aliran yang disertai pergerakan tanah di Petobo dan Jono Oge di Sigi, Sulteng menimbulkan fenomena tanah mengalir, tanah turun, tanah bergeser dan semburan pasir.
“Likuefaksi tipe Palu itu memang bagi kami di Badan Geologi itu masih suatu misteri ya, sedang kami kaji juga, jadi untuk tipe Palu ini memang sebaiknya di identifikasi potensinya di masa mendatang dan yang paling penting adalah menetapkan titik kumpul ada di mana, jangan sampai kita mengambil titik kumpul yang salah posisi, bukannya bisa menyelamatkan malah bisa membahayakan,” saran Taufiq.
Dia menekankan pembelajaran dari Likuefaksi Palu adalah pentingnya edukasi dan sosialisasi bahaya bencana gempa bumi dan ikutannya kepada masyarakat secara periodik. Selain itu, pembuatan rencana tata ruang juga seharusnya berbasis bencana.
Menurutnya juga, masyarakat setempat juga perlu mempelajari kondisi alam seperti kerentanan likuefaksi di sekitar kawasan hunian, mempersiapkan jalur evakuasi penyelamatan diri, dan mengikuti arahan dari pemerintah.
Taufiq mengatakan,tanah yang memiliki kerentanan likuefaksi memiliki ciri dominan seperti berpasir, relatif gembur (tidak padat), dan memiliki kedalaman muka air tanah yang dangkal (kurang dari 10 meter).
Bencana Sedimentasi Masih Terjadi
Abdullah MT Pengamat Kebencanaan Sulawesi Tengah dari Universitas Tadulako mengatakan meskipun bencana likuefaksi terjadi dua tahun lalu, dampak ikutannya, yakni sedimentasi tanah longsor, mengancam pemukiman masyarakat.
“Nah, bencana sedimentasi merupakan bencana susulan yang dipicu oleh gempa 28 September 2018 dengan magnitudo 7,4 itu masih berlanjut sampai sekarang terutama di kecamatan Gumbasa, kecamatan Kulawi dan kecamatan Dolo Selatan dan ini terjadi pada setiap hujan deras dengan durasi lama,” kata Abdullah dalam diskusi daring bertema Belajar dari Gempa Palu 28 September 2018 yang digelar oleh Mahasiswa Tanggap Bencana (WAGANA) Universitas Tadulako bersama Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) Sabtu, 3 Oktober 2018.
Di Kabupaten Donggala,penurunan permukaan tanah menyebabkan pemukiman masyarakat di tepi pantai di desa Tompe, Lompio dan Lende Kabupaten Donggala terendam air laut saat pasang sebanyak dua kali dalam sebulan. [yl/ab]
[ad_2]
Source link