Ilmuwan Muda Indonesia Ajak Petani Melek Teknologi untuk Ekspor

Ilmuwan Muda Indonesia Ajak Petani Melek Teknologi untuk Ekspor

[ad_1]

Pengetahuan dan akses pada informasi dan teknologi dapat menjembatani sekaligus mengatasi kesenjangan hidup. Petani dan perempuan merupakan kelompok masyarakat yang sering menghadapi tantangan dalam hidup karena ketiadaan pengetahuan dan akses. Ilmuwan muda Indonesia, mencoba menjadi jembatan itu guna mengatasi kesenjangan kehidupan petani dan perempuan.

Ilmuwan Muda Indonesia (IMI) terdiri dari sekelompok pemuda yang fasih teknologi. Ketika mereka mengetahui bahwa banyak petani dan perempuan yang masih jauh dari sentuhan teknologi, para pemuda itu berupaya meningkatkan kehidupan mereka dengan menawarkan pemanfaatan teknologi. Salah satu yang mereka tawarkan adalah “Tanihood”.

Firly Savitri bersama Tanihood mengikuti ITPC Busan. (Foto: Firly Savitri)

Firly Savitri bersama Tanihood mengikuti ITPC Busan. (Foto: Firly Savitri)

“Kebanyakan mereka adalah petani yang belum pernah ekspor. Mereka perlu tahu standar keamanan pangan seperti apa, buyer itu karakteristiknya seperti apa? Yang paling penting juga adalah bagaimana mengumpulkan informasi yang benar tentang produknya agar bisa disampaikan ke pembeli,” ujar Firly Savitri, salah satu pendiri “Tanihood”.

“Tanihood” adalah website yang menghubungkan sejumlah petani dan beberapa kelompok tani Indonesia langsung ke pembeli. Mereka menyasar bukan hanya pembeli dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Website itu juga mengembangkan digital marketing supaya petani tidak terpaksa menjual hasil panen mereka kepada tengkulak.

Sebelum ekspor produk pertanian dilakukan, mengedukasi para petani selama sekitar 12-18 bulan menjadi tantangan bagi perusahaan berbasis teknologi itu. Setelah mendapatkan data kelompok tani yang berpotensi ekspor dari Departemen Pertanian, tim community development turun ke lapangan dan tinggal bersama petani agar dapat memberi dampak terhadap kehidupan petani, baik secara sosial maupun ekonomi.

Sejumlah petani kopi, misalnya, dilatih agar mengetahui cuping score, uji cita rasa kopi, harga kopi sejenis di pasaran, dan pengemasan agar dapat dijual dengan standar harga produk ekspor premium. Beberapa kelompok tani juga dilatih sertifikasi GMP (good manufacturing practices) dan sertifikasi organik internasional. Kepada VOA, Firly menegaskan, fair trade yang diterapkan mencontoh perusahaan yang punya nilai seperti di Eropa yang menghargai jerih payah petani.

Pelatihan Marketplace Tanihood. (Foto: Firly Savitri)

Pelatihan Marketplace Tanihood. (Foto: Firly Savitri)

“Mereka (petani) bisa lihat bahwa keuntungan paling besar adalah harga buat mereka, bukan buat marketingnya. Selama ini kan kebalik ya…mereka yang dapat nilai paling kecil, sementara orang jualnya bisa berkali lipat,” jelas Firly Savitri.

Etik Rasau, petani di Kalimantan Barat, mencoba mengikuti perkembangan teknologi untuk mengembangkan diri. Ia menggunakan her venture, aplikasi pelatihan bagi kaum perempuan. Her venture mengajarkan strategi dalam memulai, membangun dan menjaga usaha tetap berjalan. Walaupun didampingi Yayasan Dian Tama, Etik dan beberapa perempuan petani yang berjualan di Pontianak, mengaku masih awam terhadap aplikasi ponsel yang didukung Cherie Blair Foundation tersebut.

Anggota JarPUK belajar aplikasi her venture (Foto: JarPUK NTT)

Anggota JarPUK belajar aplikasi her venture (Foto: JarPUK NTT)

“Hanya beberapa perempuan petani punya HP Android walaupun sudah punya usaha kecil kripik olahan. Sinyal HP juga susah,” jelas Etik Rasau.
Di NTT, tidak semua perempuan anggota Jaringan Perempuan Usaha Kreatif (JarPUK) mempunyai ponsel Android. Isu lain yang mereka hadapi: pulsa data lebih sering digunakan untuk hal terkait media sosial. Yustin, pendamping JarPUK, menawarkan solusi.

“Jadi cara yang dilakukan yaitu 1 ibu yang pakai HP Android bisa belajar bersama dengan dua atau tiga orang ibu yang lain dalam satu kelompok,” jelasnya.

Teknologi seperti aplikasi her venture memungkinkan perempuan petani terampil menggunakan ponsel. Keterampilan itu membuat mereka tetap bisa berniaga meskipun dalam situasi pandemi dan umumnya berjualan dari rumah. Yustin menjelaskan lebih jauh.

Belajar bersama aplikasi Her Venture. (Foto: JarPUK NTT)

Belajar bersama aplikasi Her Venture. (Foto: JarPUK NTT)

“Ilmu yang didapat dari her venture ini sangat membantu mereka dalam menganalisa usaha yang potensial dengan kekuatan lokal, dan potensi lokal apa yang menjadi pilihan yang tepat ketika mereka mengambil keputusan untuk berusaha,” paparnya.

Menurut Firly, tantangan pencarian kata kunci produk pertanian Indonesia dalam SEO (Search Engine Optimization) untuk pasar global, diatasi dengan konsultan digital marketing dari luar negeri, karena beberapa perusahaan besar Indonesia hanya mampu mengerjakan di pasar lokal. Ketika permasalahan SEO produk pertanian itu terselesaikan dan membuahkan hasil, sejumlah pemesanan secara online mengalami kendala di tengah pandemi COVID-19, mulai dari pembatalan hingga penundaan sampai waktu yang tidak ditentukan.

Sejak Agustus 2020, “Tanihood” melanjutkan sejumlah penawaran dan negosiasi yang tertunda pada awal wabah virus corona merebak. Kini jumlah produk pertanian Indonesia lebih banyak diekspor semasa pandemi hingga ke pasar Asia dan Amerika Utara. [mg/ka]

[ad_2]

Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *