Site icon MultiNewsMagazine.com

Perempuan dan Peta Politik Tanah Air

Perempuan dan Peta Politik Tanah Air

[ad_1]


MultiNewsMagazine.com – Sejak abad pertengahan hingga awal abad ke-9, perempuan di dunia tidak mendapatkan status dan hak yang setara serta dilindungi oleh hukum atau pun undang-undang. Perempuan disamakan dengan komoditas dan menjadi masyarakat kelas dua di bawah kaum pria. Aktivitas perempuan terbatas hanya pada pekerjaan rumah tangga, memasak, menjahit, dan membesarkan anak.

Partisipasi perempuan dalam dunia politik juga semakin luas. Selain dukungan dari perundang-undangan, sudah banyak sosok perempuan yang maju dalam kancah perpolitikan, memberi inspirasi bagi masyarakat.

Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, perempuan ditegaskan bahwa status dan haknya sama dengan laki-laki, penduduk, dan warga negara Republik Indonesia. Perjalanan serta perjuangan jauh yang menyetarakan status dan hak-hak perempuan.

Status perempuan Indonesia dalam rangka ikut serta dalam gerakan pembangunan, yaitu pembangunan secara menyeluruh menuntut partisipasi sebesar-besarnya laki-laki dan perempuan di segala bidang. Dalam konteks ini, perempuan memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berpartisipasi dalam kegiatan di segala bidang. Partisipasi perempuan dalam pembangunan negeri ini mutlak.

Namun, jejak perjuangan perempuan untuk keluar dari stigma “rumah tangga” yang seakan hanya sebagai pelengkap, pendamping keluarga, ternyata cukup panjang. Pada masa Orde Baru, organisasi perempuan hanya dipusatkan pada bidang “keperempuanan”.

Menurut LIPI, organisasi terkenal pada masa itu, Dharma Wanita, yang berdiri pada 1974, dikenal sebagai organisasi istri pegawai negeri. Program yang terkenal ialah Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dengan kegiatan yang mencakup lingkup rumah tangga.

Saat itu berjamuran pula Persatuan Istri Tentara, seperti Candra Kirana untuk istri angkatan darat, Jalasenastri untuk istri angkatan laut, atau PIA Ardhya Garini untuk istri angkatan udara, serta Bhayangkari untuk istri anggota Polri.

Setelah rezim Orba lengser, peran perempuan mulai keluar dari stigma tersebut. Bahkan, partai politik mulai memasukkan perempuan dalam struktur kepartaiannya. Lebih jauh, amandemen UUD 1945 telah memuat unsur kesetaraan gender dalam bentuk persamaan hak dan kewajiban antar sesama warga negara dalam semua bidang kehidupan.

Bagikan Jika Anda Suka

Hal tersebut semakin diperkuat dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal 46 yang menyebutkan bahwa HAM menjamin keterwakilan perempuan, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Pencapaian yang paling mencolok adalah ketika para aktivis perempuan berhasil mendorong aturan tentang kewajiban kuota 30% bagi calon legislatif perempuan. Pada UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, misalnya, mewajibkan parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat.

Selain itu amanah untuk menyertakan perempuan dalam politik juga diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR-DPRD dan UU No.7 Tahun 2007 tentang Pemilu. Persentase 30% tersebut diambil berdasarkan hasil penelitian PBB yang menyebutkan bahwa jumlah ini memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.

Meski demikian, keterpilihan caleg perempuan dalam pemilu harus menjamin kualitas dan kompetensi. Artinya, perempuan yang terpilih memang memiliki kompetensi untuk duduk sebagai perwakilan rakyat, sama halnya dengan kontestan laki-laki.

Sementara itu, di Indonesia sendiri terjadi peningkatan jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI. Misal saja pada periode 2014-2019 ada sekitar 17% anggota DPR perempuan dan diperkirakan pada periode 2019-2024 jumlahnya meningkat menjadi sekitar 21%.

Sementara di DPR RI jumlah anggota perempuan sudah mencapai sekitar 30% dari total anggota DPD. Meskipun demikian, peran perempuan tidak hanya dalam dunia politik.



[ad_2]

Source link

Exit mobile version