[ad_1]
MultiNewsMagazine.com – Momentum pada tanggal 30 September, beberapa stasiun televisi swasta, selalu menayangkan film tragedi “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Film tersebut merupakan judul dokudrama propaganda di Indonesia pada tahun 1984.
Melalui laman yang dituangkan di Wikipedia Ensiklopedia Bebas, bahwa film tersebut diproduksi dan dirilis pada tanggal 1984 disutradarai oleh Arifin C. Noer dan produsernya adalah G. Dwipayana.
Produksi tersebut, dikabarkan didanai oleh Pemerintahan Orde Baru (Orba) pada saat Soeharto menjabat sebagai presiden Indonesia dan ia mampu bertahan sebagai presiden selama 32 Tahun.
Realitas diatas, bahwa Presiden Soeharto merupakan salah satu Presiden terlama di Indonesia jika dibandingkan dengan Presiden RI lainnya. Pasalnya, Soeharto menjadi presiden bukan langsung dipilih oleh Rakyat, melainkan dari konstituante.
Kendati demikian, Orde Baru diduga menggelontorkan dana untuk pembuatan Film G 30 S PKI sejumlah 800 Juta pada tahun 1984 bukanlah uang yang sedikit, melainkan terlalu besar.
Film tersebut diproduksi harus berdasarkan versi resmi pemerintahan Orde Baru, pada kala itu dikabarkan Gerakan 30 September” atau “G30S” (peristiwa percobaan kudeta pada tahun 1965) yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, yang menggambarkan peristiwa kudeta ini didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI mendeskripsikan bahwa PKI dan komunisme sebagai dalang beserta pengikutnya dipandangn sebagai licik dan kejam dan merencanakan setiap langkah dengan terperinci.
Sejarawan Katherine McGregor menemukan hal ini ditekankan dalam film ini yang menggambarkan pimpinan G30S sebagai gangster, duduk dalam pertemuan rahasia di tengah-tengah kepulan asap rokok. Dia juga menganggap sebuah adegan pembuka film, di mana PKI menyerang sebuah sekolah Islam, juga dengan sengaja dimaksudkan untuk menunjukkan sifat “jahat” komunis.
PKI, dalam film tersebut menggambarkan kekerasan dengan menampilkan adegan “perempuan yang mencungkil mata dan tubuh yang membusuk dan disiksa”, para jenral diculik, jendral ditangkap dan disiksa saat komunis menari di api unggun.
Kesaksian Dari Eks Prajurit Tjakrabhirawa
Konon, dikabarkan bahwa Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabhirawa diduga terafililasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), berdasarkan rezim orde baru. Diketahui bahwa pasukan Tjakrabirawa tertuduh melakukan penculikan Tujuh perwira TNI sebagai “Dewan Jendral”.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, para perwira dibantai dan dibunuh di sumur tua di Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta.
Selain pembantaian 7 Jendral, 500 ribu kader dan simpatisan PKI dibantai dan dibunuh secara massal di berbagai penjuru Indonesia.
Kronologi yang mencekam, sebagaimana keterangan dari Ishak Bahar (87) yang merupakan warga Kelurahan Kalikabong, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Ishak Bahar, yang merupakan lansia pernah berpangkat sebagai Sersan Mayor (Serma) bertugas sebagai Komandan Regu Pengawal Istana Batalion Tjakrabirawa.
Pada peristiwa tersebut, sebagaimana dilaporkan oleh akun youtube kompas.com, ia pernah bertugas di pengawal Istana tahun 1964.
“Saya pendidikan di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) terus bertugas di pengawal Istana tahun 1964. Waktu Soekarno pidato di Konferensi Asia Afrika, saya yang mengawal presiden ke Aljazair,” kata Ishak saat berbincang di rumahnya, Rabu (29/09/2021).
Bahkan, Ishak sendiri mengakui, bahwa ia terjebak dalam pusaran politik yang misterius, pasalnya, G30S, Angkatan Darat dibawah pimpinan Mayor Jendral Soeharto, yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia kedua, menuding Tjakrabirawa adalah antek PKI.
Dalam ingatannya, Letkol Untung meminta Ishak untuk ikut bersamanya, Padahal, ia ada jadwal kawal Presiden Soekarno ke Senayan.
“Sore itu sekitar jam 18.00 WIB, saya ada tugas untuk mengawal Soekarno ke Mabes Teknisi di Senayan, tahu-tahu Pak Untung datang minta saya ikut dia,” katanya.
Kendati demikian, sebagai prajurit harus tunduk pada sumpah militer yang patuh pada pimpinan, tidak membantah perintah atau putusan. Padahal, ada perintah dari presiden untuk mengawalnya.
“Sudah jangan mengawal (presiden), ikut saya!” kata Ishak menirukan perintah Untung.
Ketika pada saat itu, Ia diminta untuk mendampingi Letkol Untung untuk menjenguk anaknya, Soeharto ke RSPAD Gatot Soebroto yang sedang sakit yakni Tommy Soeharto dengan persenjataan lengkap.
“Saya tidak dikasih tahu tujuannya ke mana, tahu-tahu mampir ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) untuk menemui Soeharto yang sedang menjaga anaknya, Hutomo Mandala Putra (Tomy) yang lagi sakit,” beber Ishak.
Namun, Ishak tidak masuk ke kamar dimana Tommy dirawat, melainkan ia mendengar perbincangan bisikan antara Letkol Untung dan Abdul Latief mendapatkan misi dari Soeharto yang ia sadari sebelumnya.
“Baik Pak Untung dan Pak Latief itu pamitan dengan Suharto mau nyulik jenderal,” katanya dengan mantap.
Ia merasa kaget dengan perbincangan sebelumnya, namun Ishak pun hanya mendampingi saja, bukan ikut menculik jendral yang dibantai di Lubang Buaya dengan komandannya Letkol Untung dan Abdul Syarif Masuk 1 Oktober pukul 01.00 WIB, satu per satu regu bergerak untuk menculik Dewan Jenderal. Pukul 03.00 WIB, para jenderal datang silih berganti.
“Saya kaget malah, pasukan-pasukan datang, ya anggota Cakrabirawa, teman-teman saya. Tahu-tahu dibagi regu untuk menculik jenderal. Saya tidak (menculik), saya ngawal Untung di Lubang Buaya,” ujar Ishak. Ishak menuturkan, tidak semua jenderal yang dibawa oleh prajurit Cakrabirawa dalam keadaan hidup. “Jenderal Yani (Letjen Ahmad Yani), Panjaitan (Brigjen D.I. Panjaitan), Haryono (Mayjen Harjono) mati, dan Toyo (Brigjen Sutoyo) sudah meninggal. Yang hidup hanya tiga, Jenderal Prapto (Mayjen R. Soeprapto), Jenderal Parman (Mayjen S. Parman) dan Tendean (Lettu Pirre Tandean). Jenderal Nasution enggak ada,” kata Ishak.
Semuanya dalam suasana kepanikan, dimana jendral yang diculik, baik hidup dan sudah meninggal dibuang ke sumur Lubang Buaya, sekaligus Tubuhnya ditembak dari atas secara Cuma-Cuma.
“Saya menyaksikan langsung dengan satu polisi namanya Soekitman. Awalnya, Soekitman ini suruh dibunuh, tapi saya tahan, saya lindungi, saya bilang kamu tidak tahu apa-apa,” kata Ishak sambil memperagakan detik-detik penembakan.
Ishak mulai sadar, bahwa dirinya sudah terjebak masuk dalam pusaran gejolak politik yang maha dahsyat. Meski demikian, Ishak belum sepenuhnya paham skenario seperti apa yang akan menjeratnya setelah itu.
“Setelah itu lalu bubar, saya enggak tahu (Untung dan Latief) pada ke mana, saya ditinggal dengan pasukan-pasukan yang lain. Saya pulang sendiri dengan pembawa truk, sopir dan Soekitman itu tadi,” katanya.
Sesampainya di markas Cakrabirawa, tidak berselang lama datang pasukan tentara berpita putih. Ishak dilucuti dan langsung dijebloskan ke penjara tanpa dimintai keterangan apa pun.
“Saya ditahan belasan tahun tanpa pakai persidangan apa-apa, hanya sekali dimintai keterangan jadi saksinya Untung,” pungkasnya.
[ad_2]
Source link