[ad_1]
MultiNewsMagazine.com – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) membuat langkah terukur. Yakni, berencana melakukan amandemen terbatas terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah beberapa kali diamandemen. Tidak ada nalar akademis dalam amandemen sebelum ini. Nalar berjalan di luar konstitusi itu sendiri.
Perlu penulis stabilo-kuningkan, betapa amandemenpun belum menjadi bagian dari garis-haris besar haluan sejumlah partai politik. Hampir tidak ada naskah atau dokumen resmi yang bisa dirujuk menjadi pegangan. Baik terlahir dalam forum pengambilan keputusan tertinggi seperti kongres, muktamar, atau musyawarah nasional yang dihelat partai-partai politik, maupun rapat kerja nasional setelah itu.
Tanpa dokumen yang bisa menjadi pijakan partai, dalam arti konstitusi, statuta, hingga program partai, politisi tak ubah semut yang hanyut dalam arus banjir. Kemana semut itu berpegang, kesana hidup diberikan. Dalam lanskap peradaban, manusia berbeda dengan semut yang mampu membuat sarang yang luas, tanpa perlu dokumen berbentuk konstitusi semut. Komunikasi dan interaksi antar semutlah yang membuat sarang menjadi istana, bahkan sanggup mematikan seekor gajah.
Konstitusi adalah Kapal Nabi Nuh. Berisi falsafat kehidupan dalam bahtera bernama negara. Bukan bangsa, suku bangsa, etnis, apalagi hanya berupa pandangan dari orang per orang. Negara memiliki warga negara, wilayah, kedaulatan, hingga hukum. Hak dan kewajiban diatur terukur.
Kelemahan utama dari rencana amandemen konstitusi versi MPR RI zaman now terletak pada kehendak untuk memasukkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ke dalam batang tubuh konstitusi. Pemikiran yang sudah terlambat, selama hampir 25 tahun. Ketika Ali Murtopo menulis ‘Dasar-Dasar tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun’ pada 1972, masa berlaku pemikiran itu selesai pada 1997. MPR RI sejak pemilihan umum 1971, selalu memasukkan GBHN ke dalam ketetapan-ketetapan yang diambil. Namun, tak ada sama sekali ‘Dasar-Dasar tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun’ Kedua (1997-2022).
Padahal, banyak naskah yang bisa disematkan. Gelombang pengembangan teknologi skala tinggi. Debirokratisasi. Globalisasi. Asia-Pasifik. Pembubaran Uni Sovyet. Sejumlah revolusi pada masa seperempat abad terakhir abad 20. Pemikir-pemikir berkelas dunia tampil hadir di Indonesia, berikut buku-buku mereka.
Naskah ‘Mukadimah’ Ibnu Khaldun baru mulai dibicarakan. ‘Arus Balik’ Pramodya Ananta Toer sedang berlayar dalam bentuk phinisi di samudera raya. Ketebalan buku ‘Arus Balik’ yang terbit tahun 1995 dikalahkan ‘Dan Damai di Bumi’ karya Karl May. Wiranggaleng sebagai petempur asal Kerajaan Demak tak hanya gagal bersama pasukan Pati Unus menyerbu Malaka yang dikuasai Portugis sejak 1511, tetapi gagal hinggap dalam aksara politisi di Senayan. Era kejayaan maritim yang berurutan dengan hasil-hasil pertemuan sejumlah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di Istana Bogor dalam kerangka Asian Pasific Economic Cooperation 15-16 November 1994.
Penulis kembali membaca sejumlah naskah penting dalam tahun-tahun pergolakan duapuluh tahun pertama RI pascaproklamasi. Terdapat tiga undang-undang penting yang layak dicatat: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Mengatur dan Mengurus Rumah Tangga Sendiri; dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Oligarki berdasarkan klan-klan perseorangan, terbukti lama kelamaan ditelan badai waktu. Namun, upaya membangun oligarki berdasarkan pengayunan pendulum kekuasaan kepada sentra ortodoksi bernama MPR RI, bakal memunahkan negara yang serbaneka ini. Kekayaan bergenerasi yang dipintal berabad, miskin binasa papa tak bisa lagi dikenali, akibat kebuntuan pikiran sekelompok orang atas nama persatuan tuan-tuan dan puan-puan. Mereka bukan merawat persatuan, tetapi makin terlibat dalam persatean republik.
Kalaulah pintu amandemen terbatas semata pada Garis-Garis Besar Haluan Negara, sudah sejak berabad lampau Nabi Musa lulus ujian dari Sang Guru Nabi Khidir (Khaidir). Bahtera yang mereka tumpangi membelah Laut Hitam, dilobangi pakai kapak oleh Khidir tanpa keterangan. Hukum Laut bisa jadi ditulis Nabi Musa, sehingga bajak-bajak laut tak berulah hingga era Pirates of Carribean, hingga Laut Banda dan Selat Malaka.
Ketika Garis-Garis Besar Haluan Negara masuk ke dalam batang tubuh, peristiwa Presiden sebagai Mandataris MPR RI bakal bergulindan. Nahkoda bahtera besar bernama Republik Indonesia kehilangan karsa, korsa, dan karya. Negara berubah bagai kapal tanpa nahkoda, berhubung seluruh haluan sudah tergaris besar-besar dalam peta tujuh lautan. Nahkoda berubah menjadi juru mudi.
Kalaulah hendak melakukan amandemen, kerjakan secara total, bukan totaliter. Salah satu dan satu-satunya jalan adalah mengembalikan Bab Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam Batang Tubuh.
Contoh soal saja, mari baca ulang Penjelasan Pasal 18 Bagian II berikut ini:
“Dalam territoir Negara Indonesia terdapat 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeen schappen, seperti desa di Jawa dan subak di Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut, dan segala peraturan negara mengenai daerah itu akan mengingat hak-hak asal usul daerah tersebut.”
Rumusan luar biasa itu sobek dalam amandemen sebelum rencana kini. Dari 75.000 lebih desa, tak lagi terdapat 250 lahan dan adat daerah istimewa yang tak bersifat staat itu.
Seiring naskah yang sangat dikuasai Mohammad Hatta itu – tertulis dalam banyak karya Hatta – mengalir air mata dan mata air bencana. Hanya Sumatera Barat yang masih mempertahankan mayoritas tanah menjadi harta pusaka tinggi. Sampai seseorang menyebut sebagai daerah Dajjal. Di luar Sumatera Barat, tanah adalah milik perseorangan, bahkan dalam jumlah yang melebihi hadiah terbesar dari Ratu Inggris atau Ratu Belanda kepada panglima militer mereka dalam perang-perang kolonial.
Lebih bersifat kalender akademik dalam rangkaian upaya dan rencana amandemen konstitusi itu, penulis merasa lebih baik seluruh anggota MPR RI membaca ulang lagi seluruh naskah yang pernah ditulis menyangkut konstitusi. Berikut, seluruh upaya menyusun konstitusi baru yang luar biasa oleh Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955. Di luar persoalan Dasar Negara, bukankah seluruh ahli sepakat dalam karya-karya disertasi mereka, betapa konstitusi versi Dewan Konstituante sungguh sempurna dalam diksi dan aksara.
Mau lebih berakar, bernalar, dan berakal lagi, kenapa tidak pemilu 2024 ditugaskan untuk memilih anggota-anggota yang duduk dalam Dewan Konstituante. Dekrit Presiden Sukarno 5 Juli 1959 bisa menjadi pilihan, “Pembentukan Dewan Konstituate Lewat Pemilihan Umum Tahun 2024”. Sedari awal, Undang-Undang Dasar 1945 sudah dipenuhi pelanggaran demi pelanggaran akibat revolusi fisik dan non fisik.
Apabila MPR RI membuat ketetapan dalam Sidang Tahunan Istimewa, kenapa tidak rakyat atau warga negara yang dikasih hak guna memutuskan siapa saja yang berhak menyusun konstitusi baru?
Oleh: Indra J. Piliang, Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara
[ad_2]
Source link