Menurut Penelitian, Penggemar Film Horor Lebih Mudah Bertahan Hadapi Pandemi

Menurut Penelitian, Penggemar Film Horor Lebih Mudah Bertahan Hadapi Pandemi

[ad_1]

Tim ilmuwan dari Aarhus University dan dua perguruan tinggi Amerika berusaha menelusuri apakah “perasaan ekstrem” yang timbul saat nonton film horor dapat mendatangkan pengaruh positif bagi kesehatan mental penontonnya, terutama di situasi suram seperti sekarang. Temuan mereka kemudian diuraikan dalam jurnal pracetak Personality and Individual Differences.

Mereka meminta 310 responden untuk mengisi kuesioner yang menanyakan film-film bertema pandemi yang ditonton, kondisi mental (“Saya merasa lebih tertekan daripada biasanya”) dan pola pikir responden (“Saya optimis dengan masa depan”) selama masa awal Covid-19.

“Meski orang biasanya menonton film horor untuk hiburan semata, ada pelajaran yang bisa diambil dari sini,” bunyi penelitiannya. “Fiksi memungkinkan penonton menjelajahi dunia imajinasi tanpa melakukan apa-apa. Mereka bisa belajar menyelamatkan diri dari situasi berbahaya, menavigasi situasi sosial baru, dan mempraktikkan keterampilan membaca pikiran dan mengendalikan emosi.”

Responden yang mengaku suka film horor dan “sering menikmati fenomena fiksi menakutkan” menunjukkan tingkat tekanan psikologis akibat pandemi yang lebih rendah daripada mereka yang tidak menyukai genre film ini.

“Satu alasan yang mungkin menjelaskan korelasi ini adalah cerita horor dapat melatih seseorang menghadapi emosi negatif dalam lingkungan yang aman,” peneliti menyimpulkan. “Melalui film horor, individu bisa mengasah keterampilan mengendalikan rasa takut dan menghadapi situasi mengerikan di dunia nyata dengan lebih tenang.”

Selain film horor, peneliti juga memasukkan empat jenis film lain (bertema invasi alien, akhir zaman, pasca-apokaliptik dan zombie) ke dalam kategori “prepper”. Penggemar genre film itu tampak lebih siap menghadapi pandemi dan “jarang mengalami gangguan emosional”.

Setelah itu, subjek penelitian wajib mengukur minat mereka terhadap “hal-hal tidak menyenangkan” menggunakan Morbid Curiosity Scale. Beberapa skenario yang diangkat dalam penilaian di antaranya adalah, “Jika saya hidup di Abad Pertengahan Eropa, saya ingin menyaksikan eksekusi publik” dan “Saya ingin menonton atau menyaksikan langsung praktik eksorsisme”. Mereka yang memiliki rasa penasaran tinggi terhadap hal-hal ini cenderung tertarik menonton Contagion atau film bertema pandemi lain di tengah krisis kesehatan global.

Coltan Scrivner, peneliti utama yang merupakan mahasiswa PhD jurusan Comparative Human Development di University of Chicago, memberi tahu VICE responden yang seperti ini masih melihat sisi positif dari pandemi. Mereka merasa bisa sekalian belajar tentang pandemi atau bagaimana Covid-19 memengaruhi dunia, misalnya. “Mereka bisa menemukan hal menarik dari pandemi, jadi bukan berarti mereka menikmatinya,” terangnya.

Penelitian ini pertama kali dilakukan pada April, tapi hasilnya relatif sama ketika responden ditanyakan hal serupa sebulan kemudian. Situasinya semakin parah sekarang, sehingga sikap mereka mungkin saja sudah berubah atau justru tetap sama.

“Akan sangat menarik jika bisa melihat seberapa lama efeknya bertahan,” lanjut Coltan. “Saya menduga hasilnya sama [seperti penelitian asli kami]. Tentu saja banyak tantangan baru yang mungkin muncul enam bulan kemudian dan berkaitan dengan dampak sosial, seperti kesepian [atau] kekhawatiran akan stabilitas ekonomi.”

Coltan belum bisa memastikan apakah seseorang akan merasa lebih baik jika memaksakan diri menonton film horor di tengah pandemi. “Kesiapan mental seseorang [menghadapi pandemi] setelah menonton film horor mungkin tergantung pada alasannya. Misal, tujuan utamanya adalah untuk melatih emosi dan belajar menghadapi rasa takut, cara itu mungkin bisa efektif,” dia memprediksi.

“Tapi kondisinya bisa memburuk jika mereka memaksa nonton film horor, padahal tidak suka […] Kalau memang ingin mengasah keterampilan, kalian mungkin bisa menonton film yang menurutmu menakutkan, bukan film yang dianggap paling menakutkan secara umum. Intinya bagi kalian adalah belajar menerima dan mengatasi perasaan takut atau cemas tersebut.”

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

[ad_2]

Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *