Dawam Rahardjo, Pemikir Islam, Ekonom, Pluralis dan Sahabat Kaum Minoritas


MultiNewsMagazine – Muhammad Dawam Raharjdo terkenal sebagai ekonom dan tokoh agama. Ia telah banyak menulis buku-buku baik tentang ekonomi maupukmn tentang agama islam. Dawam pernah menjadi ketua dari ICMI se-Indonesia, pemimpin Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, dan ketua yayasan ELSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat.

Dawam Rahardjo meninggal dunia dalam usia 76 tahun di RS Islam Jakarta, Rabu (30/05/18) malam. Tokoh kelahiran Solo tersebut selama ini dikenal sebagai pemikir Islam dan pembela hak asasi manusia (HAM).

Dawam dikenal sebagai tokoh liberal dan konsisten sejak lama dan peduli terhadap kasus-kasus berhubungan dengan nasib kaum minoritas yang terpinggirkan di negeri ini. Ia menyuarakan keadilan bagi kelompok Ahmadiyah, Lia Eden, serta umat Kristen yang kesulitan mendirikan gereja ataupun diintimidasi kelompok lainnya. Keteguhan itu harus dibayar dengan dikeluarkannya nama beliau dari kepengurusan Muhammadiyah.

Bukan hanya itu hujatan dan ancaman bom surat pernah dilayangkan kepadanya. Namun, tidak menyurutkan sikapnya yang memperjuangkan pluralisme dan HAM. Tidak mudah baginya memperjuangkan sikap dan prinsipnya itu, kala mesti berhadapan orang-orang, teman-temannya yang menghujat dan tidak menyetujui konsep dan pola pikirnya.

Meski membela keadilan bagi kelompok-kelompok minoritas itu, Dawam menegaskan bahwa bukan berarti dirinya sepaham dengan ajaran Eden, Ahmadiyah, Kristen maupun kelompok lainnya. Baginya hidup beragama haruslah memiliki kebebasan.

Dawam yang juga seorang guru besar ilmu ekonomi di Universitas Muhammadiyah Malang itu, semasa hidupnya memiliki harapan besar bahwa, pluralisme, semangat kebersamaan dalam keberagaman, sikap toleransi dapat dikembangkan di tengah kehidupan masyarakat yang semakin intoleran.

Oleh sebab itu, pada 2013 ia mendapat penghargaan Yap Thiam Hien yang diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia. Setiap satu tahun sekali sejak 1992, penghargaan itu diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Lambat laun posisinya merangkak naik menjadi kepala bagian penelitian dan pengembangan hingga akhirnya menjadi direktur. Pada saat di LP3ES inilah pengetahuan Dawam Rahardjo tentang ekonomi kerakyatan bertambah.

Gambar terkait

Sejak itu, tulisan maupun esainya mengenai ekonomi dan politik tersebar di media massa. Kemudian dia juga menulis jurnal dan buku. Beberapa karyanya yang terkenal adalah Esai-esai Ekonomi Politik (1983), Deklarasi Mekah: Esai-esai Ekonomi Islam (1987), Etika Bisnis dan Manajemen (1990), Habibienomics: Telaah Pembangunan Ekonomi (1995), Paradigma Alquran: Metodologi dan Kritik Sosial (2005), serta Nalar Politik Ekonomi Indonesia (2011).

Selain itu, Dawam juga dikenal sebagai seorang sosok multidimensi, karena ia adalah seorang ahli ekonomi, pengusaha, budayawan, cendekiawan, juga aktifis LSM, pemikir islam dan juga penafsir.

Dawam dilahirkan di solo, tepatnya pada tanggal 20 April 1942. Ia merupakan anak sulung dari delapan bersaudara, putra dari pasangan Muhammad Zuhdi Rahardjo dan Muthmainnah. Meskipun dilahirkan di lingkungan keluarga yang sederhana, namun Dawam telah berprestasi sejak kecil.

Selama masa kecilnya, ia banyak belajar mengenai ilmu-ilmu agama, seperti mengaji, menghafal beberapa surat dalam Juz ‘Amma, dan juga dasar-dasar pendidikan agama seperti bahasa Arab, Tafsir, Fiqih, dan Hadis. Ia juga sempat belajar ilmu tajwid di Pesantren Krapyak selama satu bulan.

Pendidikannya dimulai di Madrasah Bustanul Athfal Muhammadiyah (setara TK) Kauman. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Masjid Besar Solo. Ketika melanjutkan ke sekolah dasar di Sekolah Rakyat Logi Wetan, Dawam langsung ditempatkan di kelas 2. Saat itu, ia juga bersekolah di Madrasah Al-Islam pada sore harinya, tempat dimana Amien Rais juga menimba ilmu. Setelah lulus sekolah dasar, Dawam melanjutkan pendidikannya di SMP 1 Solo dan lulus pada tahun 1957, dan melanjutkan sekolahnya di SMA Manahan dan lulus pada tahun 1961.

Setelah lulus SMA, Dawam mendapatkan kesempatan mengikuti AFS (American Field Service) dan menjadi siswa di Borach High School, Idaho, Amerika Serikat selama satu tahun. Sepulangnya dari Amerika Serikat, ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 1969. Sejak saat itu, karir akademiknya pun terus meroket. Pada tahun 1993, ia sudah menjabat sebagai Guru Besar Ekonomi Pembangunan di Universitas Muhammadiyah Malang, dan sekaligus menjadi Rektor Universitas 45 di Bekasi.

Dalam meniti karir, Dawam pernah bekerja sebagai Staf di Departemen Kredit Bank of America, Jakarta pada tahun 1969. Tapi setelah dua tahun bekerja di perusahaan tersebut, ia memutuskan berhenti. Selepas dari Bank of America, Dawam kemudian bergabung di LP3ES (Lembaga Penelitian dan Pembangunan Ekonomi-Sosial) sebagai Staf peneliti.

Lambat laun posisinya merangkak naik menjadi Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan hingga akhirnya menjadi direktur. Pada saat di LP3ES inilah, pengetahuan Dawam tentang ekonomi kerakyatan bertambah. Sejak itu, tulisan maupun esainya mengenai ekonomi dan politik tersebar di media massa.

Setelah kurang lebih 10 tahun di LP3ES, ketertarikan Dawam pada dunia LSM semakin besar. Ia pernah ikut merintis sekaligus memimpin beberapa LSM, antara lain: Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, Lembaga Studi Pembangunan (LSP), Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA), dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF).

Sementara itu dia mengembangkan minat intelektualnya untuk menggali al-Quran yang membawanya untuk mempelajari berbagai buku tafsir maupun buku-buku yang berkaitan dengan al-Quran. Dalam penelusurannya itu dia menemukan arti pluralisme dan toleransi dalam kehidupan beragama.

Menurutnya, pluralisme merupakan sebuah jalan menuju kedamaian dan toleransi menjadi kata kuncinya. Dawam Rahardjo mengaku, saat dirinya belum toleran, ia harus terus-menerus membenci dan menolak segala sesuatu yang berbeda darinya. Namun setelah toleran, ia mengaku mendapat kasih sayang lebih banyak. Ancaman yang dia terima pun malah berkurang.

Yang lebih penting lagi baginya, toleransi adalah kunci menuju kemajuan. Tanpa toleransi, Islam menurutnya tidak mungkin menjadi maju. Toleransi menurutnya tidak berarti lemah. Dengan toleransi, ia mengaku malah bisa memahami akidahnya. Disarikan dari berbagai sumber. (Red)


Photo Credit : FILE/Dok/Ist. Photo/Komunitas Saliahara

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *