[ad_1]
Mensos Tri Rismaharini menyambangi dapur umum untuk warga yang isoman di Otista, Jakarta Timur, pada 26 Juni 2021. Foto oleh Dasril Roszandi/NurPhoto via Getty Images.
Ada tiga hal yang sudah pasti terjadi di dunia ini: kematian, polusi baliho politikus jelang pemilu, dan aksi marah-marah Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Risma, sapaan akrabnya, kembali jadi sorotan gara-gara membentak seorang petugas Program Keluarga Harapan (PKH) di Gorontalo setelah memergoki data penerima bansos yang tak sinkron. Mantan wali kota Surabaya itu sampai mengucap, “Tak [saya] tembak kamu, ya!” kepada petugas tersebut, membuatnya dianggap kelewatan oleh beberapa pihak.
Gubernur Gorontalo Rusli Habibie mengaku tersinggung atas perlakuan Risma kepada anak buahnya tersebut. Tidak lama, pihak Kemensos menjelaskan Risma sudah meminta maaf ke petugas malang itu.
Berita macam ini sebenarnya udah bisa kita prediksi akan terjadi di sekitar aktivitas Kemensos sesudah pelantikan Risma. Doi udah terkenal gampang naik pitam. Temperamennya jadi pembicaraan berkali-kali, mulai dari aksi turun podium untuk memarahi ASN yang bergurau saat upacara di Surabaya, membentak penyelenggara acara bagi-bagi es krim yang bikin rusak Taman Bungkul Surabaya, sampai mengancam memindahkan ASN Bandung ke Papua karena tidak bekerja dengan baik.
Gaya kepemimpinan seperti ini enggak bisa diterima banyak pihak. Salah satu kritik datang dari anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid. Doi sampai ngasih saran ngehek, entah serius apa bercanda, supaya Risma ikut terapi kesabaran.
“Saya mendapatkan kabar bahwa Bu Risma marah-marah kembali, ini kambuh terus. Menurut saya, mungkin Bu Risma perlu terapi kesabaran. Menurut saya, tidak elok kalau pejabat negara terus, hanya untuk memberikan nasihat saja dengan nada menuding-nuding seperti orang itu semuanya bodoh, seperti orang itu semuanya tidak mampu,” kata Jazilul dilansir CNN Indonesia. Saran sama diucap politikus Fadli Zon lewat cuitannya.
Kritik lain datang dari pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin. Ujang menilai, gaya marah-marah Risma tak cocok dengan gaya kepemimpinan Jokowi yang lekat dengan pencitraan.
“Sikap yang tak tepat dan jauh dari nilai-nilai kesantunan dan tak cocok dengan gaya pemerintahan Jokowi yang cenderung menjaga citranya. Tak ada persoalan yang bisa dibereskan hanya dengan marah-marah. Pemimpin itu bukan marah-marah, tetapi memberi keteladanan. Jika hanya bisa marah-marah lebih baik mundur dari mensos saja,” kata Ujang kepada Kompas. Waduh, sabar, Pak Ujang, jangan ikut marah-marah.
Sementara itu, pakar komunikasi politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam beranggapan gaya komunikasi marah-marah ini tak cocok dibawa ke panggung nasional. Berbagai latar belakang dan watak warga Indonesia membuat cara komunikasi Risma berpotensi memecah belah. Hal yang terbukti dari ketersinggungan Gubernur Gorontalo di atas.
“Jadi, sebaiknya Mensos Risma berlatih mengelola emosinya. Kepemimpinan publik harus dikelola dengan baik, bukan dengan kemarahan atau bahkan dengan gaya politik dendam, yang jelas-jelas tidak mendidik bagi masyarakat demokrasi yang egaliter,” kata Ahmad dilansir Republika.
Pendukung gaya memimpin Risma datang dari kolega satu partainya. Anggota DPR RI dari PDIP Andreas Hugo Pareira memaklumi setiap politikus punya gaya masing-masing. “Kalau gaya, tiap-tiap orang punya gaya. Yang penting, adalah substansi yang dilakukan, perubahan, perbaikan sistem dan outcome,” kata Andreas kepada CNN Indonesia.
“Kita terlalu sibuk dengan gaya dan pencitraan, lupa terhadap substansi. Nah, Ibu Risma berani tampil beda, diferensiatif untuk melakukan yang substantif, yang dibutuhkan oleh rakyat.”
Ya yang bikin kita-kita jadi sibuk sama gaya dan pencitraan kan Presiden dari partai Anda juga, Pak. Hadeh.
[ad_2]
Source link