Pakar Hukum UI Dr. Edmon Makarim: Selayaknya Adil dan Beradablah dalam Berinformasi dan Berkomunikasi

Pakar Hukum UI Dr. Edmon Makarim: Selayaknya Adil dan Beradablah dalam Berinformasi dan Berkomunikasi

 

Multinewsmagazine.com – Di balik pesatnya perkembangan digital dan media sosial saat ini, merekam orang lain tanpa izin menjadi salah satu isu yang cukup meresahkan publik. Kemudahan dalam berbagi konten di media sosial dan semakin canggihnya gadget dengan berbagai aplikasinya, turut mendorong banyaknya video atau foto viral yang merekam aksi seseorang baik dalam konteks ruang privat maupun dalam ruang publik. Selain berpotensi melanggar etika, tindakan ini dapat melanggar kaedah aturan hukum tentang berinformasi dan berkomunikasi jika tidak sesuai dengan konteksnya dan tidak didasari oleh adanya suatu kepentingan hukum yang sah (legitimate interest).

Pakar hukum bidang Hak atas Kekayaan Intelektual dan Telematika Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) Dr. Edmon Makarim, S.Kom., SH., LL.M., mengatakan bahwa tindakan tersebut tidak hanya diatur dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tetapi juga dalam UU lainnya yang terkait dengan informasi dan komunikasi itu sendiri. “UU ITE mengatur adanya perlindungan Hak atas Privasi terhadap keberadaan informasi dan komunikasi. Dalam konteks merekam suatu informasi, tentu harus dilihat apakah dalam konteks hubungan komunikasi privat ataukah publik? Demikian pula halnya dengan pengungkapan serta penyebaran informasi tersebut, apakah menyangkut kepentingan privat ataukah kepentingan publik. Setiap orang dengan baik dengan pasal 21 UU HAM maupun dengan pasal 26 UU ITE tentu dapat menggugat pihak lain yang merugikan kepentingan privasinya sebagai suatu perbuatan melawan hukum,” ujar Dr. Edmon.

Lebih lanjut ia menyampaikan, dalam konteks komunikasi publik, pada dasarnya UU ITE melarang tindakan penyebaran konten ilegal, yakni informasi yang bersifat melawan hukum baik berdasarkan suatu UU ataupun berdasarkan kepatutan/kesusilaan dalam masyarakat. Secara garis besar, sifat melawan hukum adalah suatu istilah generik dalam sistem hukum yang mencakup semua jenis perbuatan yang tidak legitimate interest yang berakibat merugikan orang lain atau perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan UU, kesusilaan, ataupun ketertiban umum.

Sementara itu, dalam sudut pandang hukum kebendaan, kebaradaan suatu foto atau video wajah dan fisik seseorang juga merupakan suatu hal kebendaan yang melekat pada orang tersebut dan dilindungi dengan Hak atas Privasi dan juga Hak Cipta. “Jika seseorang tidak menghendaki dirinya untuk difoto, maka hal ini merupakan hak orang tersebut. Apalagi, jika diambil tanpa persetujuannya, dan perekamannya merugikan privasi serta nama baiknya di tengah masyarakat,” kata Dr. Edmon yang juga merupakan Dekan FHUI periode 2019-2023.

Ia menambahkan, “Sesuatu keunikan yang melekat pada badan seseorang sesungguhnya adalah kebendaan imateril miliknya, itulah yang menjadi identitas dirinya (right to identity), tidak karena teknologi digital kemudian hal tersebut dikuasai oleh pihak lain (possesion) dan kemudian pihak tersebut seolah-olah mejadi pemiliknya (ownership),” kata Dr. Edmon.

Sesungguhnya keberadaan Identitas dan Data Pribadi adalah suatu hal yang sepasang. Data pribadi adalah atribut data yang menerangkan suatu keunikan tertentu untuk proses mengidentifikasi seseorang (e-identification). Sayangnya sering disalahpahami, bahwa seolah-olah pihak yang menjadi pencatat Data Pribadi adalah pihak yang memberikan identitas (identity providers) dan menjadi pemilik data pribadi tersebut. Padahal suatu identitas adalah representasi keunikan seseorang yang melekat kepada dirinya, sehingga terhadap setiap proses pengidentifikasian secara elektronik (e-ID Management) dan sistem pengautentikasian (e-authentication/trust services) tentang seseorang seharusnya membutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan. Jadi, kebijakannya harus dibangun dari model yang bersifat user-centric bukan government centric. Apalagi jika pemerintahnya mengeksplotitasi nilai ekonomis terhadap data pribadi penduduk atau warganya, itu sama saja dengan mengkhianati amanah pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan suatu Negara yang berkedaulatan rakyat.

Lebih lanjut ia mengatakan, tentu perlu juga disadari bahwa privasi tidaklah bersifat absolut karena hak individual tentu dikalahkan oleh suatu kepentingan umum. Apalagi, jika ia melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut kesusilaan masyarakat di ruang public. Kata kuncinya harus dilihat kembali apakah konteks informasi privat ataukah publik, dan ruang komunikasi privat atau ruang komunikasi publik. Jika seseorang mementaskan privasinya di muka umum, maka dengan sendirinya yang bersangkutan dianggap telah melepaskan (release) hak atas privasinya. Hak atas privasi secara hukum dilindungi karena atas dasar adanya pengharapan yang sah atas suatu privasi (reasonable expectation to privacy).

Dr. Edmon menjelaskan, sesuai dinamika terakhir, keberadaan UU Pelindungan Data Pribadi (PDP) yang melahirkan kewajiban tata kelola yang baik terhadap obyek pemrosesan data pribadi seseorang, sebenarnya hanyalah salah satu aspek dari privasi itu sendiri. Boleh jadi juga merupakan suatu kekhawatiran apabila kebaradaan UU-PDP dapat disalahgunakan menjadi dasar pembenar bagi setiap pihak untuk menguasai data pribadi orang lain dengan dalih demi kepentingan umum. Apalagi jika hal tersebut sangat digantungkan kepada penilaian sepihak suatu kelembagaan yang bersifat sangat sentralistis dan otoritarian. Kata kuncinya adalah penegaknya justru kepada peran serta masyarakat dan profesi penunjang sebagai bentuk partisipasi self-assessment dan coercive-enforcement.

“Pada intinya, Semuanya kembali kepada prinsip hukum tentang privasi (reasonable expectation privasi) itu sendiri di mana yang bersangkutan dapat menggugat setiap pemanfaatan data pribadi yang melawan hukum oleh pihak lain, baik perorangan, korporasi, maupun negara itu sendiri. Idealnya UU-PDP mewajibkan semua orang untuk menjalankan kewajiban prinsip-prinsip pelindungan Data Pribadi kepada setiap pihak yang menguasai data pribadi orang lain. Selayaknya Ke depan, setiap pengendali dan pemroses data pribadi harus secara deklaratif menjalankan dan menjamin tata kelola terhadap setiap data pribadi dengan baik sebagaimana mestinya,” kata Dr. Edmon.

Ia menambahkan, penting juga disadari bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik, termasuk media sosial mempunyai kewajiban hukum terhadap akuntabilitasnya sebagai suatu media komunikasi publik. Kegiatan penyampaian konten melalui space yang dikelolanya adalah kegiatan komunikasi masa/publik yang tentu harus menghargai keberadaan hukum dan kesusilaan masyarakat. Setidaknya Mereka harus menjalankan kebijakan Notice and Takedown Policy jika tidak ingin menjadi pihak yang dianggap melakukan tindakan penyertaan karena telah menyediakan sarana yang disadarinya dapat digunakan oleh setiap penggunanya untuk melakukan suatu tindakan distribusi konten ilegal. Hal tersebut tentunya dapat dipintakan pertanggungjawaban baik secara perdata, administratif, maupun pidana.

“Yang saya pikir masih kurang dari UU ITE adalah pertanggungjawaban produk dan jasa dari para vendor dan developer. Dalam kaca mata industri dengan kapitalismenya, tentu selalu yang menjadi target adalah pengguna yang diasumsikan bermasalah, padahal yang justru pencipta masalah dan pengambil keuntungan adalah para industriawan (vendor) itu sendiri. Sepertinya pertanggung jawaban terhadap cacat teknologi baik produk barang dan jasa, seakan selalu lolos pertanggung jawaban hukumnya kepada publik,” kata Dr. Edmon.

Menurutnya, hal yang tidak kalah penting lainnya adalah kepekaan dan kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat tentang perasaan dan perilaku keadilan. Semua ketentuan hukum dalam Undang-Undang sesungguhnya adalah patokan/pedoman dalam bertindak secara ajek. Hukum adalah bagaimana yang seharusnya bukan sebagaimana yang ternyata terjadi, karena boleh jadi yang ternyata terjadi itu justru merupakan suatu perilaku yang bermasalah di masyarakat.

“Sistem hukum nasional tidak hanya karena substansi UU, melainkan juga karena struktur atau penegakan hukum dan kebudayaan hukum masyarakat. Pahami dan jalankan sila Kedua Pancasila, yaitu adil dan beradablah dalam berinformasi dan berkomunikasi sehingga seharusnya tidak perlu ada informasi dan komunikasi yang merugikan pihak lain,” ujar Dr. Edmon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *