Multinewsmagazine.com – Universitas Indonesia (UI) melalui Fakultas Farmasi (FF) berkolaborasi dengan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) mengadakan Preceptor Training Program bagi para dosen farmasi di Indonesia. Kegiatan yang berlangsung di The Margo Hotel, Depok, pada Rabu (31/7), tersebut bertujuan memberdayakan para pengajar agar menjadi model percontohan dalam keterampilan klinis dan pengajaran yang efektif di bidang farmasi.
Acara pelatihan ini diikuti oleh 160 dosen yang berasal dari 73 universitas di seluruh Indonesia. Dari total peserta, sekitar 60 universitas telah memiliki program studi farmasi, sedangkan 10 universitas lainnya tengah berupaya untuk mendirikannya. Menurut Dekan FFUI, Prof. Dr. apt. Arry Yanuar, M.Si., keikutsertaan peserta menunjukkan antusiasme dan komitmen bersama dalam mencetak generasi preceptor yang kompeten bidang farmasi.
“Pelatihan ini merupakan kesempatan yang baik bagi dosen untuk mempelajari strategi pengajaran inovatif, berpartisipasi dalam studi kasus yang mendalam, dan terlibat dalam diskusi yang memicu pemikiran kritis. Melalui program ini peserta dapat belajar, berkolaborasi, dan bertumbuh bersama. Semoga pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh para peserta dapat diterapkan di masing-masing institusi untuk meningkatkan standar pendidikan dan praktik farmasi di Indonesia,” ujar Prof. Arry Yanuar.
Pada pelatihan tersebut, hadir para narasumber, yakni Director International Clinical Pharmacy Education, University of Illinois Chicago (UIC) College of Pharmacy, Alan Lau, Pharm.D., FCCP, FNAP; Clinical Assistant Professor UIC College of Pharmacy, John Shilka, Pharm.D., BCPS, BCACP dan Daphne E. Smith Marsh, PharmD, BC-ADM, CDCES; serta Dosen Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, apt. Elida Zairina, S.Si., MPH., Ph.D.
Prof. Alan menjelaskan pentingnya manajemen pengobatan kepada pasien yang dinilai secara individual. Praktik ini penting agar obat yang diberikan sesuai untuk pasien, efektif, aman, dan sesuai kegunaan. Oleh karena itu, apoteker yang terlibat dalam observasi perawatan pasien bertanggung jawab memilih, memodifikasi, dan memantau terapi obat khusus pasien. “Untuk itulah, pendidikan berdasarkan pengalaman atau experiential education perlu dilakukan agar mahasiswa memaksimalkan potensi pembelajaran melalui interaksi langsung,” kata Prof. Alan.
Preceptor atau pembimbing berdasarkan American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) berperan sebagai model, pelatih, serta fasilitator dalam memberikan pengajaran secara langsung kepada mahasiswa. Pengajaran langsung bertujuan memberikan informasi kepada mahasiswa sebelum melakukan praktik kepada pasien. Menurut John, pada tiga fungsi tersebut, preceptor bertugas mengarahkan mahasiswa untuk mempraktikkan tindakan medis yang dicontohkan, mendapat pembelajaran melalui pengalaman, serta belajar secara mandiri dengan bimbingan.
Tak hanya pengajaran dari preceptor, edukasi juga dapat diberikan sesama mahasiswa. Daphne mengenalkan layered learning model di mana mahasiswa mengajar atau mengarahkan mahasiswa lainnya (yang lebih junior) dalam clinic flow. “Terdapat lima tahapan layered learning model yang diimplementasikan di institusi masing-masing, antara lain orientasi, pre-experience planning, implementasi, post-experience, dan evaluasi. Proses ini memungkinkan mahasiswa mendapat feedback dari mahasiswa lainnya tentang pengalaman yang didapat dan mereka akan lebih mudah mengidentifikasi kesulitan dengan sesama pembelajar,” ujarnya.
Sementara itu, Elida melihat perlunya evolusi pendidikan farmasi di Indonesia. Menurutnya, untuk mencetak lulusan apoteker dengan kualitas terbaik, ada empat hal yang harus dijalankan secara bekesinambungan, yaitu reformasi kurikulum, akreditasi/penjaminan mutu, integritas teknologi, dan kolaborasi internasional. Reformasi kurikulum dilakukan dengan memasukkan lebih banyak konten klinis, sementara akreditasi dan penjaminan mutu dilakukan untuk memenuhi standar yang disyaratkan.
Selain itu, peningkatan literasi digital dan integrasi teknologi, seperti penggabungan perangkat e-learning ke dalam kurikulum, perlu diterapkan untuk mendukung kemudahan dalam proses pembelajaran, terutama pembelajaran online. Adanya kolaborasi internasional—seperti program pertukaran mahasiswa, proyek penelitian bersama, dan konferensi global—juga meningkatkan kualitas dan memberikan paparan terhadap praktik terbaik tingkat global.
Ketua APTFI, Prof. Dr. apt. Yandi Syukri, M.Si., mengatakan bahwa APTFI mendukung penuh kegiatan ini karena APTFI berperan aktif dalam pengembangan kurikulum, peningkatan kualitas pendidikan, dan penyelenggaraan pelatihan untuk memajukan pendidikan farmasi di Indonesia. “Melalui pelatihan preceptor yang komprehensif dan interaktif, kami berharap para peserta dapat mengambil dan menerapkan ilmu yang diperoleh untuk mengembangkan pendidikan farmasi yang lebih baik lagi,” ujarnya.