Multinewsmagazine.com – “Kolonisasi tidak hanya merampas tanah, tetapi juga pikiran,” ujar Prof. Dr. Abdul Fattah El-Awaisi, Fellow of the Royal Historical Society (UK) sekaligus Profesor Hubungan Internasional, dalam kuliah umum bertajuk “Beyond 1948: Reclaiming the Palestinian Intellectual Legacy and Confronting the Intellectual Nakba”.
Dalam kuliah umum yang diselenggarakan Senin (20/10), di Synergy Hall, Gedung Science Techno Park (STP), Kampus UI Depok, Prof. El-Awaisi menyebut bahwa penjajahan terhadap Palestina bukan bermula pada 1948, melainkan sejak pendudukan Inggris pada 1917 yang kemudian membuka jalan bagi kolonisasi Zionis. Ia menyoroti terjadinya Nakba, ketika pengetahuan dan bahasa Palestina dihapus dari ruang akademik global, sehingga generasi Muslim kehilangan kerangka berpikirnya sendiri.
“Penjajahan bahasa adalah bentuk dominasi paling berbahaya karena membuat kita percaya pada narasi yang diciptakan penjajah. Kita harus merebut kembali pengetahuan, agar ilmu kembali melayani keadilan,” kata Prof. El-Awaisi.
Menurutnya, dunia akademik dapat melanggengkan kolonialisme modern melalui teori dan paradigma yang diimpor tanpa kritik. Banyak universitas Muslim terjebak pada ketergantungan terhadap kerangka berpikir Barat tanpa berupaya membangun teori yang berpijak pada pengalaman sendiri. Kondisi ini disebut intellectual slavery atau perbudakan pemikiran.
Oleh karena itu, guna membangun kebebasan berpikir, Prof. El-Awaisi menilai perlunya menerjemahkan solidaritas terhadap Palestina ke dalam riset, tulisan, dan teori yang menantang dominasi kolonial. Selama lebih dari tiga dekade, ia meneliti bagaimana kolonialisme bekerja melalui penguasaan narasi ilmiah dan penghilangan sejarah intelektual bangsa Palestina. Riset tersebut penting karena perjuangan melawan penjajahan bukan hanya tentang kemerdekaan fisik, tetapi juga perjuangan merebut kembali hak untuk berpikir dan mendefinisikan diri.
Sebagai anak dari keluarga penyintas Nakba, Prof. El-Awaisi mengatakan, “Ayah saya seorang buta huruf yang selalu menekankan pentingnya pendidikan sebagai bentuk perlawanan. Ia selalu berkata, satu-satunya cara untuk merebut kembali tanah air adalah melalui ilmu pengetahuan. Karena itu, perjuangan saya adalah perjuangan akademik,” ujarnya.
Tak hanya itu, Prof. El-Awaisi juga mengkritik gagasan Two-State Solution atau “Solusi Dua Negara”, yang menurutnya belum menyentuh akar persoalan kolonialisme dan justru berpotensi memperpanjang bentuk dominasi baru. Kemerdekaan Palestina dimulai dari keberanian untuk berpikir merdeka. Oleh karena itu, ia mengajak sivitas akademika UI untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai sarana pembebasan, bukan sekadar akumulasi teori. Melalui dekolonisasi pengetahuan, manusia dapat terbebas dari dominasi dalam bentuk apa pun.
Kuliah umum ini diselenggarakan oleh Direktorat Pengabdian Masyarakat dan Inovasi Sosial UI bekerja sama dengan Universitas Indonesia Students for Justice in Palestine (UISJP). Wakil Rektor UI Bidang Riset dan Inovasi UI, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si. menyebut kegiatan ini sebagai upaya memperluas ruang dialog akademik lintas negara dengan menghadirkan diskursus global yang tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga berkeadilan.
“Dunia akademik memiliki peran penting dalam menumbuhkan kesadaran global terhadap isu kemanusiaan. Kampus adalah tempat untuk menegakkan kemanusiaan. Membicarakan Palestina di kampus merupakan bentuk tanggung jawab moral dan akademik, membicarakan Palestina berarti berbicara tentang keadilan dan martabat manusia,” ujar Prof. Hamdi.






