Kami Disiksa dan Dieksploitasi di Pusat Penahanan Libya

[ad_1]

Para migran yang diselamatkan dari Laut Tengah mengaku mereka disiksa dan keluarga mereka diperas untuk mendapatkan uang tebusan saat mereka ditahan di pusat-pusat penahanan pemerintah Libya. Laporan yang dirilis Associated Press tersebut muncul sementara laporan PBB pekan lalu menemukan bukti kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap para migran yang dicegat di laut dan diserahkan ke Libya.

Amadou Traore dan teman dekatnya, Osman Touré, masih dihantui oleh kenangan buruk selama hidup bertahun-tahun di sebuah pusat penahanan migran ilegal di Libya.

Mereka mengatakan, mereka disiksa, dilecehkan, dan mendapat perlakuan-perlakuan yang sangat tidak manusiawi lainnya.

Migran asal Guinea, Amadou Traoré melihat ke Laut Mediterania saat menunggu kapal yang ditumpanginya berlabuh di pelabuhan Augusta, pulau Sisilia, Italia, Senin, 27 September 2021.

Migran asal Guinea, Amadou Traoré melihat ke Laut Mediterania saat menunggu kapal yang ditumpanginya berlabuh di pelabuhan Augusta, pulau Sisilia, Italia, Senin, 27 September 2021.

Traore mengatakan, “Saya diperlakukan buruk, saya disiksa. Ini karena saya tidak bisa membayar uang tebusan yang mereka minta, tapi untungnya seiring berjalannya waktu, saya bisa membayar dan saya bebas. Saya bebas dari Libya, dari penjara.”

Toure menuturkan, “Mereka mengatakan kami harus menelepon orang tua kami, dan meminta mereka untuk mengirim uang tebusan agar kami tidak disiksa. Saat kami ditangkap, kami langsung ditempatkan di sana. Seandainya pun mereka membebaskan kami, mereka hanya melepaskan satu atau sepuluh orang sekaligus, sementara sisanya dijual. Kami telah diperdagangkan dan kami bahkan tidak menyadarinya.”

Kedua migran asal Guinea Conakry itu termasuk di antara puluhan ribu migran yang mendekam di pusat-pusat penahanan yang dikelola pemerintah Libya, setelah mereka ditangkap saat menyeberangi Laut Tengah lewat jasa para penyelundup manusia.

Associated Press mewancarai mereka dan sekitar 20 migran lainnya di atas kapal Geo Barents, sebuah kapal penyelamat yang dioperasikan oleh kelompok Doctors Without Borders. Para migran itu sebelumnya ditahan di berbagai pusat penahanan di Tripoli dan daerah sekitarnya dalam empat tahun terakhir.

Migran asal Guinea, Osman Touré, duduk di dek kapal penyelamat Geo Barents menunggu kapal tersebut berlabuh di pelabuhan Augusta, pulau Sisilia, Italia, Senin, 27 September 2021.

Migran asal Guinea, Osman Touré, duduk di dek kapal penyelamat Geo Barents menunggu kapal tersebut berlabuh di pelabuhan Augusta, pulau Sisilia, Italia, Senin, 27 September 2021.

Para migran mengaku mereka mengalami beberapa jenis perlakuan paling buruk, termasuk penyiksaan dan kekerasan seksual, pelanggaran-pelanggaran yang dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, menurut para penyelidik yang ditugaskan oleh PBB.

Tubuh mereka menunjukkan bekas luka lama dan baru, dan tanda-tanda luka tembak dan pisau di punggung, kaki, lengan dan wajah.

Mohamed Salah Desouk, seorang migran dari Pantai Gading, mengatakan, “Para penjaga penjara tidak memiliki belas kasihan kepada kami, orang-orang kulit hitam. Ketika mereka melihat kami, mereka berpikir bahwa kami adalah orang-orang yang telah dilupakan dan bahwa mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan terhadap kami.”

Sejumlah pejabat PBB dan aktivis mengatakan maraknya praktik tebusan di pusat-pusat penahanan resmi kemungkinan dapat menjelaskan hilangnya ribuan migran tujuan Eropa yang dicegat dan dikembalikan ke Libya.

Migran Afrika yang terombang-ambing di atas perahu karet di Laut Mediterania, lepas Libya, diselamatkan oleh kapal MV Geo Barents MSF (Doctors Without Borders), di rute Mediterania tengah, Senin, 20 September 2021. (AP Photo/Ahmed Hatem)

Migran Afrika yang terombang-ambing di atas perahu karet di Laut Mediterania, lepas Libya, diselamatkan oleh kapal MV Geo Barents MSF (Doctors Without Borders), di rute Mediterania tengah, Senin, 20 September 2021. (AP Photo/Ahmed Hatem)

Penjaga pantai Libya, yang dilatih dan diperlengkapi oleh Uni Eropa, mencegat sekitar 26.000 migran tujuan Eropa di Mediterania sepanjang tahun ini, namun hanya sekitar 7.000 yang tercatat di pusat-pusat penahanan resmi di negara Afrika Utara itu.

Julie Melichar, petugas kemanusiaan dari Doctors Without Borders mengatakan, “Kami menyerukan sistem pencarian dan penyelamatan yang dipimpin negara di Laut Tengah, bukan kebijakan nonbantuan yang sembrono. Kami menyerukan pengakhiran kebijakan pengembalian migran secara paksa ke Libya.”

Uni Eropa telah mengalirkan 525 juta dolar ke Libya sejak 2015. Dana itu sebagian besar disalurkan melalui badan-badan PBB dan bertujuan untuk meningkatkan kesiapan garda pantai Libya dalam memperkuat perbatasan selatannya dan memperbaiki kondisi bagi para migran.

Namun, menurut penyelidikan Associated Press yang dirilis pada 2019, sebagian besar dana itu telah berpindah tangan ke jaringan milisi dan penyelundup manusia yang sering mengeksploitasi migran.

Libya merupakan titik transit dominan bagi para migran yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan di Afrika dan Timur Tengah, yang berharap memperoleh kehidupan yang lebih baik di Eropa.

Tetapi, menurut sejumlah aktivis HAM dan migran yang berhasil menyelamatkan diri, lemahnya penegakan hukum telah membuat pusat-pusat penahanan Libya banyak diwarnai pelanggaran.

Sejauh tahun ini sekitar 44.000 migran telah mencapai pantai Eropa dengan menyeberangi Laut Tengah dari Tunisia dan Libya. Banyak dari mereka mencapai Eropa dengan bantuan para penyelundup yang menggunakan kapal-kapal yang sebetulnya tidak layak berlayar.

Kira-kira setengah dari jumlah migran yang tiba di Eropa mendarat di Lampedusa, sebuah pulau di Italia yang terletak lebih dekat ke Afrika Utara daripada daratan utama Italia. [ab/uh]

[ad_2]

Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *