[ad_1]
MultiNewsMagazine.com – Saat ini, anggota parlemen dan pejabat daerah sudah banyak dari kalangan artis, sehingga kita menemukan mereka hampir di setiap partai dengan tujuan mendongkrak elektabilitas partai yang merekrutnya melalui popularitas sang artis yang diusung partai tersebut agar fansnya ikut kemana pilihan politik sang artis bersandar.
Tentu keikutsertaan artis ini bukanlah hal yang baru, sebab sejak dahulu pun mereka telah hadir pada panggung politik Indonesia yang berlangsungnya strategi ini mulai sejak Orde Baru pada saat itu.
Gejala artis berpolitik sudah ramai pada zaman pak Harto berkuasa. Tapi, kebanyakan bukan sebagai caleg. Mereka hanya juru kampanye.
Semasa Orde Baru itu, para artis dimobilisasi untuk mendulang suara dalam pemilu, yang memiliki tiga kekuatan besar, yaitu: Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Mereka berusaha memanfaatkan ketenaran para artis. Tentu saja, partai yang memiliki modal besarlah yang paling masif menggunakan jasa para artis tersebut.
Masyarakat dianggap belum sepenuhnya memahami esensi politik dalam pemilu, sehingga pemilu dipahami sesuatu hal yang tidak berhubungan langsung dengan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Padahal dalam setiap sendi kehidupan dan perbaikan strata ekonomi pasti berhubungan dengan proses kebijakan dari para elite politik. Atau dapat saja kita menduga bahwa justru para politikuslah menjadi penyebab enggannya partisipasi masyarakat untuk ikut dalam pesta pemilu yang diadakan setiap lima tahun sekali itu.
KPU telah menargetkan tingkat partisipasi nasional di Pilkada 2015 mencapai 77,5%. Namun pada akhirnya, secara nasional hanya 70% pemilih yang memberikan suara mereka. Artinya, tingkat Golput dalam Pilkada serentak 2015 mencapai 30%.
Lain dari pada itu, jumlah pemilih pada Pemilu 2019 (di dalam dan luar negeri) mencapai 199.987.870, sementara terdapat 158.012.506 pemilih yang menggunakan hak pilihnya mencapai kisaran 81 persen saja.
Masih tingginya angka Golput saat ini tentu harus disikapi kepada hal yang bersifat variatif, apakah pemahaman demokrasi masyarakat yang rendah, atau kesiapan partai politik yang sama sekali tidak menampakkan hasil yang baik, sehingga gagasan dan ide demi memperjuangkan kesejahteraan masyarakat tidak terbumikan.
Walau diakui bahwa masyarakat masih melihat popularitas figur sebagai sosok yang dipilihnya. Hal ini semestinya menjadi pemikiran tersendiri dan harus menjadi pijakan dari pihak partai politik untuk membenahi diri.
Namun demikian, meski diakui secara jujur, bahwa kaderisasi partai politik untuk menguasai elemen kebutuhan demi mengimplementasikan visi dan misinya cenderung bersifat parsial dan acapkali menampilkan solusi pragmatisme semata, baik perjuangan pada penegakan hukum atau pun ekonomi masyarakat yang saat ini membutuhkan tahapan-tahapan kemajuan dari pemilu ke pemilu selanjutnya.
Semestinya demokrasi kita telah mengalami kemajuan yang pesat sejak berakhirnya era Orde Baru dan masuk pada tahapan era Reformasi, dimana partai politik pun harus mempersiapkan kadernya yang handal sebagai sosok negarawan dalam arti memiliki kapabilitas dan profesionalitas yang memadai.
Jangan sampai ada petugas partai yang justru belajar ketika setelah menjabat, dan baru mengejar ketertinggalan pengetahuan dan penguasaan kewenangannya itu sebagai bentuk susulan.
Sering kita mendengar jika menjadi anggota legislatif bahkan duduk sebagai penguasa daerah seperti Bupati atau Walikota yang dianggap hanya sebagai faktor keberuntungan semata, masyarakat seakan menilai jika jabatan dan kemampuan untuk mendapatkan jabatan tersebut dapat diduduki oleh siapapun jika memiliki modal dan akses politik yang kuat. sehingga posisi kewajiban yang diembannya malah terkesan sederhana dan ringan, dibalik tanggung jawabnya pada semua instrumen lembaga yang terkait.
Hadirnya para akademisi dan tokoh agama yang mengisi jabatan sebagai Kepala daerah, seperti Profesor dan para Ulama, tentu menjadi penyesalan kita semua, sebab betapa tidak, mereka yang semula kita hormati bahkan diagung-agungkan menjadi tertarik untuk ikut bertarung kepada jabatan yang dianggap sarat dengan keberuntungan itu sehingga justru menjadi target kritik dan tidak lagi menjadi sosok yang terhormat pula. Apalagi kehadiran mereka malah ikut menyeret mahasiswa dan para umat beragama untuk mendongkrak elektabilitas partainya, sehingga memperkeruh dimensi kebangsaan bagi kita semua.
[ad_2]
Source link