[ad_1]
Pendiri Pondok Pesantren Tahfidz & Tafsir Al Badar Bogor Badrudin Subky menolak Undang-undang pesantren dan aturan turunannya. Contoh aturan turunan Undang-undang Pesantren, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren.
Menurut Subky, pesantren selama ini dapat mandiri tanpa bantuan pemerintah. Menurutnya, bantuan tersebut justru akan menghilangkan nilai-nilai di pesantren seperti kesederhanaan.
“Kita tidak boleh suudzon (berburuk sangka .red). Tapi kita perlu bertanya, kalau untuk dapat bantuan sudah terbiasa. Kalau misalkan ditutup bagaimana, kita mewaspadai itu,” tutur Badrudin Subky dalam diskusi daring bertema “Ponpes-Ponpes Menggugat dan Menolak UU Pesantren?” pada Sabtu (25/9).
Subky menyebut salah satu pasal yang menjadi kekhawatiran pihaknya adalah Pasal 6 Ayat 2 d Undang-undang Pesantren yang berbunyi, “Pendirian pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: mendaftarkan keberadaan pesantren kepada menteri.
Menurutnya, pasal ini dikhawatirkan menjadi celah bagi penutupan pesantren yang tidak mendaftar ke menteri. Di sisi lain, pendaftaran pesantren tidak dibutuhkan pesantren karena masyarakat sudah mempercayai pesantren sehingga banyak yang menitipkan anaknya untuk belajar.
Sementara Pengasuh Pondok Pesantren Al Muntaha Bangkalan Madura Thoha Kholili mengkritik Undang-Undang Pesantren yang dapat mengubah pendidikan di pesantren. Utamanya melalui perubahan kurikulum pendidikan di pesantren. Padahal, kata dia, pendidikan secara tradisional di pesantren selama ini terbukti berhasil dalam mendidik para santri.
“Undang-undang tentang Pesantren itu bukan saja membonsai atau mendangkalkan. Tapi juga membabat habis pesantren,” jelas Thoha Kholili.
Thoha mengklaim cara pendidikan seperti di pesantren juga ditiru negara maju seperti Israel. Karena itu, ia menyarankan pesantren untuk mengkritisi secara mendalam terkait Undang-undang Pesantren.
Sementara Eks juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto mempertanyakan Pasal 3 a dan b Undang-undang Pesantren yang mencantumkan kata moderat. Menurutnya, pengertian kata moderat dalam pasal tersebut tidak jelas dan berpotensi memecah umat Islam. Kata dia, hal ini seperti pemberian kategori moderat kepada sejumlah tokoh agama.
“Lawan dari moderat itu radikal. Jika itu dibiarkan maka Undang-Undang Pesantren ini akan membelah pesantren yang moderat dan pesantren tidak moderat atau radikal,” jelas Ismail Yusanto.
Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi mempertanyakan penolakan sejumlah pesantren terhadap Undang-Undang Pesantren yang sudah disahkan dua tahun lalu. Menurutnya, pesantren yang menolak dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
“Kalau menolak saja tidak ada upaya judicial review, ya norma hukum tetap jalan,” ujar Achmad Baidowi kepada VOA, Minggu (26/9).
Baidowi menambahkan pesantren juga dapat menggugat Perpres tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren ke Mahkamah Agung jika merasa keberatan dengan norma dalam aturan ini.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Perpres Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren pada Kamis (2/9). Perpres ini mengatur tentang Dana Abadi Pesantren yang disediakan dan dikelola pemerintah yang bersumber dari dana abadi pendidikan.
Dana abadi pesantren bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan pesantren bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi. Selain dana abadi, pendanaan pesantren dapat berasal dari masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. [sm/ah]
[ad_2]
Source link