[ad_1]
Konflik yang melibatkan kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Sintang, Kalimantan Barat, kini memasuki babak baru. Setelah sebelumnya sekelompok warga merusak Masjid milik jemaat tersebut pada awal September lalu, kini pemerintah Kabupaten Sintang tidak bergeming terhadap keputusannya untuk mengeluarkan surat edaran pembongkaran terhadap masjid tersebut karena dianggap tidak memiliki surat izin.
Melihat kondisi tersebut, jaringan organisasi sipil kini mendorong pemerintah pusat untuk lebih serius mencermati diskriminasi yang sedang terjadi terhadap kelompok Ahmadiyah di wilayah Sintang.
Keprihatinan disampaikan oleh Ketua Tim Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Fitria Sumarni, terkait surat edaran perintah pembongkaran yang diterbitkan pada 8 September lalu.
Surat tersebut memerintahkan pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, untuk membongkar bangunan masjid Miftahul Huda selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari sejak surat itu dikeluarkan. Batas waktu tersebut akan jatuh tempo pada Jumat (8/10) minggu ini.
“Pada intinya Plt (pelaksana tugas) bupati menyampaikan bahwa masjid Miftahul Huda itu tidak berizin. Sehingga kemudian bupati merasa dengan kewenangannya bisa memberikan sanksi berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sintang nomor 8 tahun 2010 yang sanksinya adalah pembongkaran,”ungkap Fitria dalam konferensi pers daring oleh Jaringan Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, pada Selasa (5/10) siang.
Menurut Fitria, masjid itu telah digunakan beribadah oleh komunitas muslim Ahmadiyah di desa Balai Harapan sejak tahun 2007 sampai tahun 2020 tanpa ada peringatan mulai dari pemerintah tingkat desa hingga kabupaten yang menuntut pengurusan izin. Karena kondisinya sudah tidak layak setelah digunakan selama 13 tahun, maka di tahun 2020 masjid itu dibangun kembali oleh para jemaat sekitar.
“Selama 13 tahun itu tidak ada (peringatan) dan bahkan tidak ada juga penolakan dari masyarakat. Masjid itu dapat digunakan dengan aman, tidak ada gangguan dan komunitas muslim Ahmadiyah di sana hidup saling menghormati, rukun dan harmonis,” kata Fitria.
Menurutnya pengurus JAI di Balai Harapan telah menyampaikan surat keberatan kepada pelaksana tugas bupati saat itu, yang mana surat tersebut juga ditembuskan ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Ombudsman RI.
Mengganggu Proses Hukum
Muhammad Subhi Azhari, Direktur Eksekutif Yayasan Inklusif berpendapat pemerintah di Kalimantan Barat seharusnya mengedepankan proses dialog ketimbang memaksakan merobohkan rumah ibadah milik Ahmadiyah di Sintang. Menurutnya pemerintah pusat juga perlu bersikap untuk mengoreksi kebijakan pemerintah kabupaten Sintang tersebut.
“Saya juga miris kenapa sekarang pemerintah pusat ini seolah-olah tutup mata dengan keluarnya SK Plt Bupati pada 8 September itu. Kita belum mendengar sama sekali apa sikap dari pemerintah pusat, apakah ditegur, diingatkan, dikoreksi, itu belum ada sama sekali,” kata Subhi Azhari.
Muhammad Isnur, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai rencana pembongkaran masjid milik Ahmadiyah tersebut juga dapat mengganggu proses hukum yang kini sedang berjalan terhadap para pelaku aksi kekerasan pada 3 September 2021.
“Kami dengan ini mendesak pertama Kapolda Kalimantan Barat, tadi kami juga meminta kepada Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) untuk menghentikan rencana pembongkaran karena itu berpotensi merusak TKP (Tempat Kejadian Perkara), merusak barang bukti yang sedang berlangsung,” kata Muhammad Isnur.
Jaringan Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, menurut Muhammad Isnur, mendorong semua pihak untuk terlibat memantau setiap tahapan dari upaya pemulihan korban dan proses penegakan hukum di Sintang.
Trauma pada Perempuan dan Anak
Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan mengungkapkan dalam kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi berbasis agama seperti yang dialami JAI di kabupaten Sintang membuat perempuan dan anak-anak rentan mengalami kekerasan sosial dan psikis.
“Banyak sekali perempuan dan anak-anak yang mengalami trauma dan lain sebagainya,” kata Veryanto Sitohang.
Ia menambahkan bahwa Komnas Perempuan telah menanggapi pengaduan dari Jemaat Ahmadiyah Sintang dengan melakukan upaya konsolidasi bersama Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Ombudsman RI. Upaya tersebut menyepakati akan mengeluarkan rekomendasi bersama yang ditujukan kepada pemerintah daerah Kabupaten Sintang.
Ia lalu menegaskan pemerintah perlu memberikan perhatian terhadap kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi berbasis agama untuk menjamin kasus seperti itu tidak berulang, sekaligus memberikan jaminan perlindungan kepada korban, khususnya perempuan dan anak-anak. (yl/rs)
[ad_2]
Source link