[ad_1]
Dua tahun lebih sekelompok warga Jakarta yang tergabung dalam “Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta” (disingkat dengan Gerakan Ibu Kota), berjuang di pengadilan untuk menuntut udara bersih di jantung ibu kota. Gugatan diajukan pada 4 Juli 2019. Belasan kali putusan atas gugatan itu ditangguhkan, hingga pada 16 September lalu ketika PN Jakarta Pusat akhirnya memenangkan gugatan mereka. Lalu apa langkah selanjutnya?
Inilah yang menjadi tema besar webinar bertajuk “Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait Tuntutan Udara Bersih Jakarta, Apa Langkah Selanjutnya?” yang dilangsungkan pada Kamis (7/10).
Ricky Amukti, manajer di Tranction Energy Asia, lembaga analisis kebijakan yang berfokus pada isu transisi menuju energi bersih terbarukan mengatakan terdapat tiga sumber utama polusi udara di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta yakni transportasi, pembangkit listrik dan sampah.
“(Sumber polusi udara di Jakarta) paling dominan itu adalah pembangkit listrik dan sektor transportasi (sampah sisanya). Kalau pembangkit listrik 30 persen, 50 persen itu transportasi,” kata Ricky.
Ricky mengatakan berdasarkan data ada sekitar 16 juta sepeda motor dan 3,6 juta mobil yang melintasi wilayah Jakarta, termasuk dari provinsi Banten dan Jawa Barat, ditambah lagi dengan transportasi umum.
Yang ironis polusi udara dari pembangkit listrik sebenarnya bukan wilayah kewenangan Provinsi DKI Jakarta karena tujuh pembangkit terletak di Banten dan tiga lainnya di Jawa Barat.
Untuk mengatasi polusi udara ini, Ricky mengusulkan kendaraan berbahan bakar ramah lingkungan seperti biodiesel, minyak jelantah, bioetanol atau bertenaga listrik. Sedangkan untuk listrik, Jakarta bisa menggunakan pembangkit listrik tenaga surya atap (PLTS Atap). Menurut Ricky, PLTS Atap sangat mungkin digunakan karena modular dan akan lebih aplikatif jika dimanfaatkan di Jakarta, sebab bisa diterapkan di gedung-gedung tinggi.
Dia menambahkan sebenarnya di Jakarta cukup hanya 20 persen saja PLTS Atap bisa mengurangi polusi udara.
Dialog dengan Pemerintah Pusat dan DKI Mandek, Warga Ajukan Gugatan
Pada diskusi virtual itu, Direktur Yayasan Indonesia Cerah, Adhityani Putri mengatakan gugatan yang diajukan ke pengadilan menuntut udara bersih dilakukan karena dialog-dialog dengan pemerintah pusat dan DKI Jakarta tidak membuahkan hasil.
Putri menegaskan gugatan yang diajukan warga itu bukan untuk meminta kompensasi atas buruknya kualitas udara di DKI Jakarta.
“Untuk mendapatkan dukungan pengadilan atas apa yang kami ajukan. Pengadilan memihak kita nggak nih? Setuju nggak nih kalau udara Jakarta jelek? Setuju nggak nih kalau ini masalah yang harus diselesaikan? Kedua, untuk membuka jalur dialog karena dengan didaftarkannya suatau gugatan, ada mediasi, ada dialog yang difasilitasi oleh lembaga hukum,” ujar Putri.
Sebelum gugatan diajukan tambah Putri gerakan menuntut udara bersih berada di posisi minor. Ketika meminta klarifikasi, tergantung pada pemerintah mau mendengarkan atau membuka pintu dialog atau tidak. Tapi setelah masuk ke pengadilan maka pemerintah harus hadir.
Putri menjelaskan terdapat 32 penggugat dan Yayasan Indonesia Cerah berperan sebagai pendukung bareng beberapa organisasi nirlaba lainnya. Setengah dari 32 penggugat pernah bekerja untuk organisasi lingkungan hidup dan setengahnya lagi warga negara dari beragam kalangan termasuk pengusaha dan ibu rumah tangga.
Menurut Putri, gugatan itu diajukan kepada tujuh pejabat negara, yakni Presiden, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.
Pemprov DKI Jakarta Tak Ajukan Banding
Utusan Khusus Gubernur DKI Jakarta untuk Perubahan Iklim Irvan Pulungan mengatakan alasan Pemerintah provinsi DKI Jakarta tidak mengajukan banding atas keputusan yang memenangkan penggugat tersebut adalah karena visi Gubernur Anies Baswedan sejalan dengan keinginan 32 warga penggugat yang menuntut udara bersih dan lingkungan sehat bagi warga Indonesia.
Menurutnya gerakan warga menuntut udara bersih sudah dimulai sejak 1980. Ketika itu, Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim memiliki program “Langit Biru” untuk membangun akuntabilitas untuk udara yang bersih. Gerakan ini berevolusi di tahun 1990-an dimana advokasi kualitas udara itu dilakukan lewat kampanye dan pendidikan publik.
Pada 2000-an, lanjut Irvan, gerakan menuntut udara bersih mengajukan gugatan di pengadilan. Dia menambahkan Anies Baswedan sekitar 1989 pernah mewawancarai Emil Salim tentang program “Langit Biru” sehingga terdapat tautan antara visi Gubbernur Anies dengan para penggugat.
Ketika sidang berjalan, lima kali mediasi dalam sidang gagal mencapai kesepakatan bersama. Karena visinya sama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berinisiatif melakukan dua kali mediasi di luar proses pengadilan yakni pada 13 dan 27 November 2019.
“Ternyata dari pertemuan-pertemuan itu, tidak hanya bertaut tetapi ternyata kami bicara di tataran yang sama, kata yang sama, dan bahasa yang sama. itu menyebabkan 15 tuntutan yang diajukan oleh penggugat kepada (pemerintah provinsi) DKI Jakarta, kita menemukan kesepakatan di 13 (item),” ujar Irvan.
Sedangkan dua tuntutan yang tidak disepakati, kata Irvan, adalah insinerator (pengolahan sampah menggunakan pembakaran insinerasi). Waktu itu, DKI Jakarta meminta penggugat menawarkan teknologi lain untuk pengolahan sampah. Sebab Jakarta setiap hari kebanjiran sekitar delapan ribu ton sampah. Namun sampai akhir sidang, penggugat tidak mengajukan teknologi alternatif sehingga kesepakatan tidak terwujud.
Poin kedua yang tidak disepakati antara DKI Jakarta dan penggugat adalah pembatalan pembangunan enam ruas jalan tol. Irvan menekankan proyek ini tidak bisa dihentikan karena merupakan kegiatan strategis tingkat nasional
Irvan bercerita setelah putusan memenangkan penggugat dibacakan pada 16 September 2021 jam 12:30, empat jam kemudian Gubernur Anies menyatakan tidak akan mengajukan banding. [fw/em]
[ad_2]
Source link