[ad_1]
MultiNewsMagazine.com – Sebagaimana diketahui, internasionalisasi bisnis memperbanyak pemain bisnis yang menyemarakkan globalisasi ekonomi. Banyak pengamat berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan dari negara-negara berkembang, terutama perusahaan-perusahaan China berada di garis depan, melakukan ekspansi dan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan Barat. Dan perusahaan-perusahaan ini difasilitasi oleh keterbukaan pasar global yang bersifat kapitalistik.
Maka masuk akal juga bagi kita untuk mengamati bisnis internasional tidak hanya dari sudut globalisasi tetapi juga dari sudut pandang kapitalisme. Terlebih lagi, kapitalisme sebut saja di China dan Amerika Serikat, akhir-akhir ini banyak dibicarakan di kalangan jurnalis dan cendekiawan. Joel Kotkin dari Claremont Institute’s Center for the American Way of Life menggambarkan “kapitalisme China dengan karakteristik Amerika” (17 Mei 2021) pada China. Kemudian, ‘woke capitalism’ di Amerika Serikat hangat dibicarakan.
China memang telah mengadopsi sistem kapitalisme. Hal ini antara lain merujuk pada implementasi kebijakan privatisasi di bawah kebijakan modernisasi ekonomi Deng Xiaoping. Privatisasi menjadi salah satu ciri kapitalisme. Ruchir Sharma dalam bukunya The Breakthrough Nations (2012, hal. 8-9) menunjukkan bahwa ‘setelah Deng Xiaoping mulai bereksperimen dengan reformasi pasar bebas pada awal 1980-an, China melanjutkan untuk meluncurkan reformasi “ledakan besar (big bang)” setiap empat lima tahun, dan setiap pembukaan baru, pertama ke pertanian swasta, lalu ke bisnis swasta, lalu ke bisnis luar negeri memicu semangat pertumbuhan baru.” Seperti kebanyakan ekonomi, China dalam mempromosikan bisnis swasta akhirnya memilih sistem kapitalis, meski belakangan ini bisnis di negara ini mulai mendapat pengawasan ketat oleh pemerintahnya.
Sebagian besar ekonomi telah mengadopsi sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi campuran untuk mendukung bisnis dan kegiatan ekonomi negara. Seperti kita ketahui, pada Pasca Perang Dunia, kebanyakan mengikuti ekonomi Barat yang telah mengadopsi kapitalisme selama berabad-abad sejak era Merkantilisme dan Ekonomi Klasik pada abad ke-16. Di bawah strategi pertumbuhan atas dasar ekspor (export-led growth strategy), Jepang pertama kali muncul sebagai ekonomi Asia yang kuat diikuti oleh Negara-negara Industri Baru pada 1980-an. Runtuhnya Tembok Berlin, kebijakan modernisasi ekonomi Deng Xiaoping di Cina, disintegrasi Uni Soviet, dan negara-negara Eropa Timur yang bergabung dengan Uni Eropa menandai runtuhnya sistem ekonomi sosialis-komunis tetapi memperluas kapitalisme.
Kebanyakan negara lebih tertarik pada sistem kapitalis karena didasarkan atas prinsip-prinsip pasar bebas di mana produsen dan konsumen memiliki kebebasan memilih produk untuk diproduksi dan dikonsumsi dan tumbuh dalam masyarakat demokratis, bukan ekonomi terpusat dan hukum otoriter. Dengan sedikit intervensi tapi dukungan pemerintah dalam bisnis, perusahaan memiliki peluang untuk menciptakan kekayaan dengan cara kapitalisme. Negara-negara berkembang telah bangkit dan bergantung pada pasar bebas dan terbuka.
Pengamatan atas bisnis internasional dari sudut globalisasi mencerahkan terutama karena globalisasi merupakan kenyataan masa kini. Jika kapitalisme berkaitan dengan kepemilikan perusahaan swasta pada sistem produksi dan distribusi, maka globalisasi pada integrasi ekonomi melalui perdagangan internasional dan investasi asing. Globalisasi mempertajam persaingan antar para pelaku bisnis tidak hanya dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat dan industri lainnya tetapi juga dari negara-negara berkembang. Posisi dominan negara-negara berkembang juga menunjukkan daya saing bisnis mereka. Hal ini tentu merupakan tantangan bagi negara-negara Barat yang ekonomi dan bisnisnya berdasarkan pada prinsip perdagangan bebas atau liberalisasi ekonomi dalam waktu yang begitu lama.
Dalam pemahaman kita, globalisasi telah dipercepat oleh perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi terutama sejak berdirinya WTO. Namun kita tidak mengabaikan pandangan pakar seperti Thomas Friedman dalam buku best sellernya “The World is Flat” (2006, hal. 9-10) yang mengidentifikasi bahwa globalisasi dimulai dari Globalisasi 1 ketika negara-negara Old World dan New World melakukan perdagangan (1492-1800), Globalisasi 2.0 (1800-2000) sewaktu perusahaan multinasional mendorong integrasi global, hingga Globalisasi 3.0 sewaktu individu berkolaborasi dan bersaing secara global. Memang tidak sedikit individu telah menunjukkan kinerja dalam bisnis global saat ini. Tetapi kita masih mengamati bahwa perusahaan dan negara tetap berperan penting di pasar global.
Ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional atau global dari negara-negara baru berkembang banyak didukung oleh sistem kapitalis yang mereka anut. Perusahaan-perusahaan ini telah berhasil memanfaatkan liberalisasi ekonomi dunia sehingga diperhitungkan dalam bisnis dunia saat ini. Dari perspektif globalisasi, pergerakan bebas barang, jasa, tenaga kerja dan modal telah meningkatkan persaingan global. Perusahaan mana pun yang memenuhi syarat untuk menjadi pemain bisnis dunia dari negara mana pun dapat mengikuti perlombaan. Oleh sebab itu, tidak berlebihan untuk berpendapat bahwa perusahaan multinasional memang cocok dengan globalisasi ekonomi sebagai landasan bagi pertumbuhan perusahaan secara menguntungkan dengan sedikit intervensi pemerintah. Michael E. Porter (1990, hal. 78) yang terkenal dengan pandangannya mengenai keunggulan persaingan (competitive advantage) bisnis berpendapat bahwa perusahaan multinasional sering digambarkan sebagai perusahaan tanpa negara. Perusahaan ini dapat dan memang mengoperasikan (dan memproduksi barang) di mana pun mereka mau.
Kita menyaksikan bahwa pada pasca Perang Dunia, perdagangan, investasi, dan keuangan bertumbuh di pasar dunia dan meramaikan kegiatan bisnis dunia. Perdagangan jasa tertentu tidak bertumbuh secepat perdagangan barang yang ditandai dengan macetnya negosiasi atas beberapa industri jasa, seperti jasa transportasi, di WTO. Namun, banyak kemajuan telah dicapai dalam perdagangan barang dengan penghapusan hambatan tarif dan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi.
Negara-negara berkembang berterima kasih pada globalisasi yang telah mengangkat posisi kesejahteraan mereka, terutama China, dari negara miskin menjadi negara kaya. Dari segi bisnis, multipolarisasi bisnis yang menjadi bagian dari globalisasi mungkin telah berdampak pada kemerosotan ekonomi Barat. Kita mungkin berpendapat bahwa negara-negara Barat tampaknya meninggalkan industri manufaktur demi industri jasa sehingga posisi negara-negara Barat ini telah diambilalih oleh negara-negara Asia, seperti China, Korea Selatan dan negara berkembang lainnya. Lagipula perkembangan menunjukkan bahwa negara-negara seperti China dan India telah didorong oleh niat untuk membangun ekonomi kuat dalam teknologi informasi dan oleh karena itu telah melakukan investasi besar untuk menghasilkan pekerja berpengetahuan dan penelitian dan pengembangan. Hal ini dapat mengancam Amerika Serikat dan ekonomi Barat lainnya di masa mendatang. Tetapi kiranya perusahaan-perusahaan Barat, dengan semangat kapitalis, sedang berupaya memperkuat kapasitas bisnis mereka. Yang ingin saya katakan adalah bahwa globalisasi tetap memelihara persaingan yang sebenarnya menguntungkan pasar dan ekonomi global.
Terlepas dari segala kelebihannya, kapitalisme dan globalisasi sampai batas tertentu memiliki kelemahan. Jika kita mengacu pada berbagai jenis kapitalisme, maka kita dapat menemukan beberapa kelemahan pada tiap jenis kapitalisme. Dengan mengadopsi kapitalisme murni, perusahaan swasta atau individu dapat kehilangan kendali dalam melakukan bisnis antara lain menimbulkan gangguan seperti polusi atau berusaha mempengaruhi negara. Dalam kasus tertentu, perusahaan-perusahaan besar diklaim sebagai sumber ketimpangan pendapatan di dalam atau antar negara.
Kemudian, penerapan state-guided capitalism yang menandai intervensi pemerintah dalam menentukan sektor mana yang akan tumbuh, atau ‘kapitalisme oligarki’, yang melindungi dan memperkaya segelintir orang, dapat mengakibatkan ketimpangan dan korupsi (Jahan & Mahmud, Juni 2015). Rezim Amerika Serikat tampaknya menghadapi tuduhan atas perluasan woke capitalism karena membiarkan bisnis swasta mengambil keuntungan dari gangguan sosial dan mendukung dominasi China.
Proteksionisme Amerika Serikat dalam menahan ekspansi bisnis China jelas tidak sesuai dengan prinsip kapitalisme dan perdagangan bebas. Karena mencapai posisi dominan dalam bisnis internasional, China diklaim atau diduga lebih kapitalistik dalam persaingan dengan Amerika Serikat. Namun, klaim tersebut dipertanyakan mengingat kontrol pemerintah yang semakin besar atas bisnis dan kepemilikan swasta. Ruchir A Sharma (2012, hal. 25) menunjukkan hambatan seperti itu pada pertumbuhan cepat orang kaya di China dengan menyatakan:
“Tidak ada satu pun miliarder di China yang memiliki kekayaan bersih lebih dari $ 10 miliar, dibandingkan dengan sebelas miliarder dengan kekayaan bersih lebih dari $10 miliar di Rusia dan enam di India, yang memiliki ekonomi jauh lebih kecil. Hanya satu taipan yang masuk dalam daftar sepuluh miliarder teratas China lima tahun lalu yang masih masuk dalam daftar pada tahun 2011.”
Pemerintah China, misalnya, telah menangguhkan penawaran umum perdana saham Ant Grup milik Jack Ma di Amerika Serikat. Dan contoh lain intervensi pemerintah di dalam negeri adalah pelarangan baliho yang mengiklankan barang-barang mewah. Ini untuk menahan pengeluaran tetapi untuk menghindari timbulnya kebencian untuk menjaga stabilitas sosial di dalam negeri (Sharma 2012, hal. 25). Jadi, apakah kekhawatiran akan ekspansi bisnis China relevan?
Bahasan di atas menggambarkan bahwa kapitalisme, yang diadopsi oleh sebagian besar ekonomi, telah mendorong ekspansi perusahaan multinasional dan bisnis internasional. Secara bersamaan, ekspansi tersebut telah memberikan kontribusi terhadap proses globalisasi ekonomi dan sebaliknya. Terlepas dari semua tantangan, mereka telah mencapai point of no return dalam bisnis internasional. Dengan demikian, ini berarti jelas bahwa perusahaan terus menghadapi persaingan global. Karena menjadi norma bisnis untuk mengkapitalisasi segala peluang tapi menghindari atau meminimkan ancaman di pasar global, tidak ada cara bagi perusahaan internasional selain memperkuat bisnis dan kapasitas manajerial mereka dan menemukan cara untuk mengatasi kelemahan mereka. Semuanya harus terfokus pada upaya perusahaan untuk memiliki daya saing serta memiliki perencanaan strategis perusahaan yang tepat dan sesuai dengan lingkungan bisnis global.
Selain itu, untuk terbebas dari ketimpangan dan gangguan sosial, perusahaan multinasional yang menghadapi zero sum game yang berlaku di dunia bisnis dituntut untuk mengikuti aturan dan menunjukkan kepedulian terhadap masyarakat global. Pemerintah juga harus berperan dalam mengendalikan kegiatan perusahaan bisnis swasta. Kita tidak bisa menutup mata pada isu-isu terkini seperti Pandemi Covid-19, krisis keuangan, proteksionisme, terorisme dan radikalisme yang mengancam bisnis internasional. Isu-isu tersebut harusnya menjadi perhatian masyarakat bisnis ekonomi apa pun, termasuk pebisnis Indonesia. Dengan memiliki kepedulian sosial, baik perusahaan multinasional maupun pemerintah dapat berkontribusi pada kesejahteraan sosial masyarakat dunia daripada melakukan bisnis untuk keuntungan ekonomi semata, sehingga dapat membuktikan efektivitas kapitalisme dan globalisasi bisnis.
Referensi:
Friedman, T. L. (2006). The World is Flat: The Globalized World in the Twenty-First Century. London: Penguin Books.
Jahan, S., & Mahmud, A. S. (Juni 2015). What Is Capitalism? Finance & Development Vol. 52, No.2.
Kotkin, J. (17 Mei, 2021). “The Rise of Corporate-State Tyranny. the Claremont Institute’s Center for the American Way of Life.
Porter, M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nations. London: The Macmillan Press Ltd.
Sharma, R. (2012). Breakout Nations: In Pursuit of the Next Economic Miracles. London: Penguin Books Ltd.
Oleh: Ronald Nangoi, Pemerhati Bisnis Internasional
[ad_2]
Source link