Transformasi Sebuah Kunci Keberlangsungan Hidup

Transformasi Sebuah Kunci Keberlangsungan Hidup

[ad_1]


PROKLAMATOR – Hampir semua manusia di belahan bumi manapun pasti berteriak, ketika menghadapi badai pandemi Covid-19 yang menyerang siapapun dengan tidak pandang bulu dan tanpa memilih-milih atau membedakan status sosial tertentu, sudah menjadi sunatullah akhirnya seluruh masyarakat dipaksa untuk beradaptasi. Tidak hanya secara individu atau perorangan yang harus menerapkan Protokoler Kesehatan (Prokes) Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak, Menjauhi Kerumunan, Mengurangi Mobilitas (5M) secara ketat, begitupun dengan dunia industri dan usaha juga kalang kabut terhadap tuntutan untuk mengubah dan menyesuikan proses bisnisnya selama pandemi. Pelaku bisnis dituntut dengan cepat untuk melakukan revisi model bisnis secara responsif dan adaptif dengan situasi saat ini, sebab pilihannya hanya ada dua, yaitu mau berubah atau mati karena tidak mau beradaptasi.

Jika melihat progres yang berkembang selama ini, pelaku industri kecil dan menengah (UMKM) tampaknya lebih fleksibel dalam merespons perubahan yang mendadak akibat kebijakan yang diberlakukan selama masa pandemi, meskipun tak disangkal mereka juga tertatih-tatih dan juga berdarah-darah dalam menjalankan bisnisnya.

Empathize sebagai tahapan proses awal dari design thinking menjadi tahapan yang sangat krusial, namun terkadang kita tidak menyadarinya. Namun dengan adanya badai pandemi ini, kita dipaksa untuk harus tahu bagaimana cara merubah mindset dan peluang dikala kesulitan datang secara tiba-tiba.

Kafe menjual kopi literan dalam botol-botolan besar, yang siap dikirim kemana pun dan kapan saja, dengan berbagai citarasa yang biasanya hanya bisa diperoleh para pelanggan dengan datang ke kafe. Namun dengan munculnya startup jasa kurir pengantaran yang sangat menjamur, menawarkan diversifikasi pricelistnya yang sangat kompetitif satu sama lain, dalam range yang cukup lebar dan cukup bisa memangkas disparitas harga yang dimana dulu pemain jasa pengiriman hanya masih segelintir dan bisa dihitung jari, namun tentu dengan fluktuasi persaingan harga yang sangat ketat tadi, justru kualitas dan keamanan pengiriman tak lagi menjadi prioritas, terkadang bahkan sangat abai dengan kualitas penanganan barang yang dikirim, hanya memburu cepat agar barang cepat sampai di tujuan saja.

Usaha berskala kecil pun kini banyak muncul secara tiba-tiba dan mendadak, bahkan motifnya tak sedikit karena faktor prihatin, karena suami terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) banyak ibu-ibu rumah tangga yang membuat usaha kecil-kecilan, mulai dari makanan dan minuman ringan hingga pakaian, bahkan mahasiswa yang merasa bosan kuliah online, lalu mereka memilih untuk memaksimalkan operasional gadgetnya untuk berjualan online melalui media sosial (medsos) atau sekadar membuka toko online di platform e-Commerce. Lalu bagaimana dengan usaha dan industri berskala besar?

Sudah barang pasti, tentunya mereka juga berjibaku dalam upaya mempertahankan bisnisnya, mempertahankan hidup atau mati kelanjutan usahanya, dengan rule model apa saja yang memungkinkan. Dengan adanya kebijakan pemerintah yang menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM di sejumlah daerah, sangat kecil kemungkinannya untuk mengharapkan peningkatan angka penjualan yang eksponensial seperti yang lalu-lalu pada saat kehidupan masih normal sebalum ada badai pandemi ini. Perusahaan pun kini sibuk mengencangkan ikat pinggang, merestrukturisasi semua proses bisnis, berdiet merampingkan diri agar tetap dapat eksis melewati masa sulit yang entah kapan akan berakhir ini? Kita tentu belum tahu secara pasti.

Karyawan maupun tenaga kerja pun tidak datang lagi ke kantor atau tempat kerja seperti dulu, rapat harus melalui paltform plikasi digital khusus, pemantauan progres pekerjaan maupun proyek-proyek di perusahaan juga dilakukan dari jarak jauh secara daring atau online. Orang-orang akhirnya dipaksa untuk terbiasa menggunakan teknologi dalam bekerja, kalau tidak mau dikatakan gagap teknologi, baik itu kaum Milenial, Generasi X, Y, Baby Boomers dan generasi-generasi yang masih bercokol di perusahaan, tanpa terkecuali.

Namun sisi baiknya adalah bagi beberapa perusahaan yang sudah menerapkan teknologi otomatisasi pada produksinya boleh untuk sedikit bersyukur, karena tidak terlalu terdampak dengan ketiadaan karyawan di pabrik akibat kebijakan WFH (Work From Home). Penerapan konsep pemasaran digital menjadi hal yang sangat krusial dan kritikal, pengolahan dan penyimpanan data dengan menggunakan teknologi Big Data bukan menjadi sebuah angan-anagan lagi. Seluruh data dan informasi disimpan di awan melalui cloud computing, dan secara fleksibel dapat diunduh kapan dan dimana saja, tentunya oleh mereka yang diberi otoritas untuk melakukan hal itu.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Inovasi-inovasi di bidang kesehatan bahkan sudah menerapkan teknologi sebagai alat bantu dan juga penentu kecepatan dalam upaya untuk menghentikan pandemi. Sebagai salah satu contoh, di Jepang, suatu perusahaan startup memproduksi robot, bahkan membuat produk robot yang dapat digunakan untuk mengusir kesepian para pasien Covid-19 yang tengah dirawat dan menjalani isolasi di rumah sakit.

Robot yang dapat berperan menjadi koki dan memasak takoyaki juga telah diproduksi di Jepang. Dan restoran yang menggunakan robot tersebut dapat menghemat 50% biaya karyawannya. Bayangkan!

Sementara itu di bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), gamifikasi menjadi primadona dalam mengantarkan konten yang menarik dan memastikan pemahaman dari mahasiswa atau peserta. Teknologi Artificial Intelligent (AI) maupun Augmented Reality (AR) perlahan namun pasti merambah dunia pendidikan. Pengajar maupun instruktur mau tidak mau harus menguasainya, atau pilihannya tidak dapat menyebarkan ilmunya secara optimal. Mekanisme belajar mengajar berubah total juga secara drastis dan tiba-tiba, dan semuanya harus beradaptasi tanpa pilihan, hal itu bisa kita lihat dengan kelas-kelas dan pengajaran secara online atau daring dengan menggunakan alat-alat produk teknologi terkini, hal itu sudah pasti membentuk budaya ajar baru.

Jauh bisa kita bandingkan sebelum masa pandemi, penggunaan teknologi selalu membutuhkan pertimbangan yang panjang. Wajar saja, teknologi selalu memiliki dua wajah, seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Yang satu membuat gembira, dan yang satu lagi tak jarang menciptakan pathetic. Namun pandemi yang kini melanda seluruh bagian dunia ini memaksa dan mewajibkan penggunaan teknologi tanpa ada kompromi lagi.

Dengan demikian apakah penggunaan teknologi yang mengidentikan era Industri 4.0 di semua bidang ini akan berjalan dengan mulus dan bisa menciptakan sebuah perilaku digital oriented sebagai salah satu identitas perkembangan teknologi dan informasi yang semua disajikan melalui digitalisasi, lalu bagaimana jika kita tidak aware dan adaptif terhadap semua perubahan yang sangat cepat itu itu?

Tentu saja tidak. Ada beberapa tantangan yang perlu dipertimbangkan bagi pelaku industri, maupun pemerintah sebagai regulator dan pendukung adopsi Industri 4.0.

Tantangan pertama tentu saja kapabilitas sumber daya manusia yang perlu disesuaikan dengan teknologi yang akan digunakan. Dalam beberapa penelitian, disebutkan bahwa kapabilitas menjadi isu utama yang harus diperbaiki untuk dapat mengadopsi teknologi pada era Industri 4.0 ini.

Tak terkecuali di Indonesia, pengembangan sumber daya manusia sejatinya difokuskan pada area yang mendukung teknologi terkini. Bukan lagi melatih apa yang dapat dilakukan mesin (yang mungkin saja jauh lebih presisi daripada jika manusia yang melakukannya), tetapi bagaimana cara untuk mengendalikan mesin-mesin tersebut.

Dalam buku The Humachine karangan Nada R. Sanders, PhD dan John D. Wood, Esq, disebutkan istilah Moravec’s Paradox, yaitu sebuah kondisi di mana jika mesin berkapabilitas kuat maka manusianya akan lemah, dan sebaliknya.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Namun perlu diingat juga, bahwa mesin tidak bisa melakukan seluruhnya, ada hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh mesin tetapi dapat dilakukan manusia, pun sebaliknya. Manusia dibekali dengan sifat intuitif, kreatif, dan paham akan konteks. Sedangkan mesin cenderung lebih kuat, lebih cepat, dan lebih presisi dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan software dan program. Adalah menjadi hal yang tidak akan bisa ditawar lagi, di masa depan, dua karakteristik itu harus dapat berjalan harmonis untuk saling bersinergi, antara kekuatan daya pikir manusia dan kekuatan daya kerja mesin.

Tantangan kedua adalah biaya implementasi. Perusahaan besar dengan modal besar tentu tidak terkejut lagi dengan nilai investasi besar untuk penggunaan teknologi. Namun perusahaan menengah atau bahkan yang berskala kecil, menggunakan teknologi Artificial Intelligent (AI) misalnya, bagaikan pungguk merindukan rembulan.

Disinilah intervensi pemerintah diperlukan untuk mengelola tantangan kedua ini. Keterlibatan startup yang membangun teknologi terkini dengan harga layanan yang kompetitif sangat diperlukan. Tetapi startup yang demikian juga perlu dikembangkan melalui inkubator-inkubator bisnisnya, bahkan idealnya jika perlu harus dikelola pengaturannya oleh negara.

Investasi negara pada inkubator bisnis bukan hal baru lagi, dengan catatan mereka memberikan payback yang kontributif untuk masyarakat pengusaha kecil dan menengah dengan memberikan layanan teknologi yang terjangkau.

Sedangkan tantangan yang utama dan yang terakhir adalah soal waktu implementasi. Jenis teknologi yang berbeda akan membutuhkan waktu implementasi yang berbeda pula. Maka penting bagi masyarakat pelaku bisnis untuk memiliki pengetahuan yang memadai tentang ragam teknologi yang dapat digunakan dalam bisnisnya.

Peran akademisi pada dunia pendidikan tinggi sangat diharapkan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan masyarakat ini. Bukan hanya dunia usaha saja yang menjejali masyarakat dengan iklan-iklan layanan atau produknya, namun pengetahuan tentang ragam teknologi juga perlu disebarluaskan guna meningkatkan pemahaman litersi akan dunia bisnis. Dan ujung-ujungnya mereka akan memiliki pilihan dalam mendesain proses bisnis berteknologi dan siap mengadopsi Industri 4.0 secara benar tanpa harus gagap dan bingung lagi.

Beberapa informasi yang sudah ditemukan, didefinsikanlah sebuah problem yang akan manusia rumuskan solusinya, tentunya dengan pemanfaatan teknologi. Bagaimana cara mempermudah dan memaksimalkan produksi dengan teknologi.

Aware terhadap perubahan jaman dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi mengajarkan kita untuk menghasilkan sebuah perubahan akan peradaban baru, kita harus ikut dan berproses didalamnya, dimana hidup akan berdampingan dengan teknologi agar tidak tertinggal dengan progres perkembangan jaman yang sangat cepat ini, manusia pemenang bukanlah mereka yang hebat, tetapi mereka yang mampu beradaptasi dan menyesuikan diri dengan alam perkembangan jaman, mampu bertransformasi dan berkonvergensi atau akan terseok-seok melangkah ditengah kecanggihan jaman atau bahkan mati terkubur dalam pikiran-pikiran fosilnya.


Oleh: Koeshondo W. Widjojo, Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), CEO KBI Media Holding

Advertisement. Scroll to continue reading.



[ad_2]

Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *