Lesbumi NU Kritik Peringatan Satu Oktober, Bagaimana Peran Marhaenis soal Hari Kesaktian Pancasila?

Lesbumi NU Kritik Peringatan Satu Oktober, Bagaimana Peran Marhaenis soal Hari Kesaktian Pancasila?

[ad_1]


Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Kediri, dalam keterangan resminya mengkritisi Kebijakan Pemerintahan Republik Indonesia dalam merayakan Hari Kesaktian Pancasila yang diselenggarakan pada 1 Oktober.

Pasalnya, hal tersebut dikritisi hingga ditinjau kembali, ditemukan dibeberapa wilayah adanya pengibaran bendera satu tiang penuh.

Ia menilai, dalam keterangan resmi lembaga, kisaran pada tanggal 1 Oktober 1967 terjadi pengibaran bendera satu tiang penuh sebagai wujud ekspresif kemenangan dan kejayaan.

Padahal, tragedi yang dialami oleh Bangsa Indonesia, terjadi pembantaian 7 Jendral Pahlawan Revolusi yang gugur pada tanggal 1 Oktober 1965.

Dalam etika Jawa, keterangan pada tanggal 1 Oktober 2020, Lesbumi PCNU Kabpuaten Kediri memaparkan bahwa jika ada orang tua atau tokoh yang dihormati meninggal, hari saat beliau wafat itu disebut dengan Hari Na-as.

Setiap Hari Na-as, tidak boleh menyelenggarakan pesta seperti menikahkan anak, mengkhitankan anak, mendirikan rumah dan penghelatan pesta lainnya.

Oleh Karena itu, Lesbumi PCNU Kabupaten Kediri mengusulkan untuk menggelar Upacara Bendera Setengah Tiang dan Tahlilan Selametan guna gugurnya Pahlawan Revolusi yang gugur dibantai pada tanggal 1 Oktober 1965.

Bagikan Jika Anda Suka

Mempertanyakan Peran Marhaenis Soal Problematika Hari Kesaktian Pancasila

Disisi lain rekomendasi yang disampaikan oleh Lesbumi PCNU Kabupaten Kediri soal Tahlilan dan selametan mengenang 7 Jendral pahlawan Revolusi gugur, tentu menjadi teguran keras bagi masyarakat Indonesia atas dampak keputusan legalisasi Hari Kesaktian Pancasila yang disahkan oleh Jendral Soeharto melalui Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tertanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966) atas peringatan 1 Oktober hanya diperuntukan bagi Angkatan Darat.

Disisi lain, Menurut Benny Sijabat, Hari Kesaktian Pancasila 1965 telah membawa Sukarno dalam persoalan dilematis. Paska 1 Oktober 1965 banyak keputusan-keputusan legal yang penting bersifat mendeskreditkan Sukarno.

Ketika ditetapkannya Hari Kesaktian Pancasila, Dampak utama nya keluar sebuah keputusan “Melaksanakan UUD 1945 & Pancasila secara murni dan konsekuen”.

Jika dilihat hal itu maka jelaslah seluruh rakyat Indonesia melalui tangan MPR/S menetapkan Sukarno sebagai orang tidak pancasilais.

Diketahui sebelumnya, pada forum BPUPKI, Sukarno atau akrab dipanggil Bung Karno hanya memberikan nama “Pancasila”, Bung Karno bukan pembuat Pancasila, melainkan menggali dari budaya dan alam Indonesia sendiri.

Oleh karena itu BK tidak mau disebut sebagai penemu gagasan Pancasila karena menurut beliau dalam pemberian doktor honoris di UGM tahun 1949, “bagaimana mungkin saya bisa melukis wajah ibu saya pertama kali maka saya disebut sebagai penemu ibu saya”.

Tentu menjadi auto kritik bagi Marhaenis ketika ada spekulasi tuduhan bahwa Sukarno Bukan Pancasilais, bagaimana metode atau cara untuk mengembalikan atau memberikan pencerahan bahwasanya Bung Karno adalah Pancasilais Tulen berprinsip pada kesepakatan bersama PPKI 18 Agustus 1945.

Kita terlampau eforia tentang peringatan hari lahir (Istilah) Pancasila sedangkan sang pencetusnya di nyatakan tidak Pancasilais.

Bagikan Jika Anda Suka

[ad_2]

Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *