[ad_1]
MultiNewsMagazine.com – Di mata Pusat (pemerintah RI) Papua adalah daerah pinggiran namun kaya, karena itu tidak boleh lepas. Ketika Bung Karno berkuasa Papua tidak boleh lepas mungkin bukan karena kekayaannya, waktu itu tidak ada yang tahu ada kekayaan apa di Papua, namun karena orangnya. Orang Papua di mata Bung Karno harus dimerdekakan dari Belanda seperti orang Indonesia di wilayah republik yang lain.
Seperti di daerah lain Bung Karno memiliki afinitas dengan tokoh dan pemimpin daerah. Bung Karno selalu menyerahkan kepemimpinan daerah pada tokoh daerah. Sebelum Papua sepenuhnya menjadi wilayah republik Sukarno pun sudah memilih Elias Jan Bonai kemudian Frans Kaisiepo sebagai gubernur Irian Barat, nama Papua saat itu. Setahun setelah PBB secara resmi menyerahkan Papua ke Republik Indonesia (1969), Bung Karno wafat (1970).
Setelah itu saya kira pusat melihat Papua bukan karena orangnya tetapi karena kekayaannya. Sikap pusat yang memandang Papua seperti inilah yang menyebabkan mengapa selama 50 tahun Papua bersama Republik Indonesia, penduduknya tidak bahagia, dan selalu saja ada yang ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia. Akal sehat (common sense) pasti akan mengatakan persoalannya bukan pada orang Papua tetapi bagaimana pusat memperlakukan Papua.
Selama pusat melihat Papua karena kekayaannya, bukan melihat orangnya, Papua akan terus resah karena penduduknya merasa “tidak di-orang-kan”, di bawah Republik Indonesia hidup merasa tidak sejahtera, merasa tidak aman karena ketegangan dan konflik ada di mana-mana. Ada iklim ketakutan (climate of fear) yang membuat hidup terasa tidak nyaman. Saya merasakan iklim yang sama ketika awal tahun 1990an melakukan penelitian di Timor Timur, dan keresahan itu paling terlihat pada anak-anak mudanya.
50 tahun sebenarnya bukan waktu yang pendek untuk membuat orang Papua memiliki sense of belonging terhadap Republik Indonesia, tetapi mengapa masih selalu terjadi protes terhadap pusat? Mengapa protes terhadap pusat setiap kali bisa mencapai titik didih yang tinggi dan Papua menjadi perhatian dunia internasional? Ketika gelombang protes terhadap tindakan rasialis terhadap mahasiswa Papua dilakukan merata di semua kota di Papua, nalar kita mengatakan pasti ada keresahan yang merata dirasakan oleh Orang Papua. Gelombang protes itu mencerminkan adanya keresahan yang mendalam, dan memperoleh kesempatan untuk diekspresikan ketika ada pemicu yang menggerakkannya.
Ketika gelombang protes terhadap rasisme akibat matinya George Floyd di tangan polisi berkulit putih tidak hanya membakar kota-kota di Amerika, tetapi menjalar ke seantero dunia, kita tahu, ada keresahan yang bersifat global dan selama ini tersembunyi di bawah sadar, yaitu kolonialisme dan perbudakan, yang mendapatkan kesempatan untuk diekspresikan.
White supremacy dalam arti yang sempit jelas tidak ada di Indonesia, namun dominasi dan represi dalam bentuknya yang lain, mudah ditemukan di negeri ini. Dalam konteks dominasi dan represi inilah Papua, sangat wajar dan tidak sulit menjelaskannya menjadi yang paling exposed. Dominasi dan represi selalu dilakukan oleh pusat kekuasaan, baik yang bersifat politik maupun ekonomi, dan akan selalu menghasilkan marjinalisasi dari mereka yang ada di pinggiran. Slogan Black Live Matters (BLM) yang di-echo di sini menjadi Papuan Live Matters (PLM) hanyalah sebuah koinsidensi, marjinalisasi karena dominasi dan represi yang telah lama dirasakan, hanya perlu sebuah pemicu untuk diekspresika.
Kemelut yang sedang berlangsung di Papua tentu menjadi perhatian pemerintah pusat, dan pusat merasa perlu membela diri untuk tidak begitu saja menjadi pihak yang dipersepsi sebagai sumber persoalan Papua. Sejauh yang bisa diikuti dari media massa, paling tidak ada dua teks yang bisa dibaca yang memperlihatkan bagaimana para birokrat yang mewakili pemerintah pusat berusaha membela kebijakan pemerintahnya.
Teks yang pertama merupakan kolom opini yang ditulis oleh Teuku Faizasyah, Penasihat Menteri Luar Negeri dan Mantan Dubes di Kanada, di The Jakarta Post, 13 Juli 2020 lalu, dan yang kedua adalah kolom opini yang ditulis oleh Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Polhukhankam Kantor Staf Presiden, di Kompas 16 Juli 2020 tahun lalu.
Teuku Faizasyah dalam tulisan yang berjudul “Decoupling global movement for equality with a call for separatism in Papua” berharap bisa membantah bahwa BLM dan PLM merupakan dua hal yang seharusnya tak bisa dikait-kaikan, karena merupakan dua isu dengan konteks sejarah sosial politik yang berbeda. Menurut sang penulis, BLM isunya adalah kesetaraan (equality) yang menurut pendapatnya tidak merupakan masalah lagi di Papua karena Orang Papua adalah warganegara yang setara dengan warganegara dari etnis lain di Indonesia.
Penulis ini juga menilai bahwa narasi rasisme yang bersifat struktural (structured racism) yang banyak dipakai oleh berbagai media menurut dia juga sesuatu yang tidak benar. Pemerintah Indonesia, melalui paket otonomi khusus justru membuktikan telah memberikan prioritas pembangunan untuk Papua. Agitasi separatisme yang dikandung oleh slogan PLM menurut pendapatnya adalah sebuah ofensif yang berbahaya bagi integritas Indonesia. Sebagai spoke person Kemenlu memang menjadi tugasnya untuk membantah dan meng-counter, tuduhan-tuduhan dari luar terhadap pemerintah Indonesia, namun mengatakan bahwa equality bukan masalah di Papua merupakan pernyataan yang bertentangan dengan kenyataan yang ada.
Inequality (ketidaksetaraan) menjadi semakin nyata bersamaan dengan semakin kuatnya istilah OAP (Orang Asli Papua) dalam diskursus kita tentang Papua. Istilah OAP adalah cerminan paling nyata dan tak terbantahkan dari marjinalisasi Orang Papua yang justru muncul dalam sepuluh tahun terakhir ini. Mengapa istilah OAP muncul dan menguat, itulah tugas bagi Teuku Faizasyah untuk merenungkannya agar bisa menjawab berbagai tuduhan dari luar dengan lebih berwibawa.
Dalam kolomnya yang berjudul “Melihat Papua dengan Mata Data”, Jaleswari Pramodhawardani berupaya membela pusat dengan pretensi kalau argumentasinya ilmiah karena berdasarkan data. Data yang pertama bermaksud menunjukkan kalau orang Papua tingkat kesejahteraannya telah meningkat. Sang penulis memperlihatkan angka IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang naik beberapa poin dalam kurun waktu 2014-2018. Yang disembunyikan sang penulis adalah tidak dibandingkannya angka IPM Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lain.
Mereka yang belajar indeks pada tingkat dasar pun tahu bahwa sebuah indeks baru punya arti jika dibandingkan dengan indeks yang lain. Papua dan Papua Barat selalu berada di ranking paling bawah dibandingkan provinsi-provinsi lain. Data yang kedua bermaksud menepis tuduhan bahwa pusat telah melakukan pelanggaran HAM di Papua dengan menunjukkan bahwa Indonesia terbukti terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB (2020-2022), bahkan mengalahkan Jepang dan Korea Selatan. Mengatakan bahwa tuduhan adanya pelanggaran HAM di Papua sebagai tidak berdasar dengan argumentasi bahwa Indonesia terbukti terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB selain terasa dicari-cari juga memperlihatkan ketidakberanian menerima kenyataan atas pelanggaran yang data-datanya telah dipublikasikan oleh Komnas HAM dan lembaga-lembaga lain yang jumlahnya tidak sedikit. Penulis perlu melihat Papua dengan mata hatinya sebelum melihat melalui mata data.
Ben Anderson, setelah diperbolehkan masuk lagi setelah dicekal oleh Orde Baru selama 26 tahun, pada bulan Maret 1999 diminta oleh Majalah Tempo untuk memberikan kuliah umum. Dalam kuliah umum yang diberikan ketika Indonesia sedang mulai memasuki masa transisi dan berbagai konflik komunal dan politik berkecamuk di mana-mana (Aceh, Riau, Sampit, Poso, Ambon, Timor Timur dan Papua), mengingatkan kita akan sesuatu yang sangat penting. Menurut pendapatnya, Indonesia harus ditempatkan kembali sebagai proyek bersama (a common project) seperti yang diinginkan oleh para pendiri bangsa. Meskipun Papua telah 50 tahun menjadi bagian dari Republik Indonesia yang tampaknya terus terjadi adalah kegagalan kita untuk mengajak Orang Papua untuk menjadikan Indonesia sebagai proyek bersama. Orang Papua kehilangan rasa memiliki (sense of belonging) sebagai warganegara yang setara karena perlakuan kita yang tidak “meng-orang-kan” Orang Papua, kita hanya mempertimbangkan kekayaan bumi Papua, bukan orangnya.
[ad_2]
Source link