[ad_1]
Jemari Kusrini terus menari diatas selembar kain putih dengan pola tulisan dari pensil. Kerutan di wajahnya menunjukkan usianya tak muda lagi. Hampir kepala enam, jelas Kusrini ketika berbincang dengan VOA, Sabtu (2/10). Canting berisi lilin panas ditiup dan dituliskan di kain sesuai ukiran pola batik. Membatik itu, ungkap Kusrini, harus sabar dan telaten.
“Saya sudah lama bekerja membatik. Kakak saya laki-laki membuat pola batik. Saya membatik pakai lilin. Dulu keluarga saya punya usaha batik, yang kerja ada 50an orang. Perempuan menulis dan mewarnai batik, laki-laki yang sudah tua nglorot batik atau nembok (stempel motif) batik cap,” jelas Kusrini.
Ia menjadi salah satu dari puluhan buruh batik di sentra kampung batik Kauman Solo. Secara turun temurun, keluarganya mengajarkan ketrampilan membatik. Sejak usia kelas 3 SD, Kusrini berlatih membatik. Duduk berjam-jam dan konsentrasi membatik dengan lilin panas.
Lebih dari 50 tahun Kusrini mengandalkan hidupnya dari ketrampilan membatik. Menjadi buruh batik, bagi Kusrini pernah mendapat upah harian atau mingguan.
Pandemi Pukul Industri Batik
Ketua Paguyuban Pengusaha Batik Kauman Solo, Gunawan Setiawan, Sabtu (2/10) menceritakan pandemi memukul industri batik. Menurut Gunawan, UMKM batik selama ini menyerap belasan hingga ratusan tenaga kerja mulai dari produksi, distribusi, hingga promosi. Gunawan mengungkapkan harus menjual sejumlah aset demi usaha batiknya bertahan di masa pandemi.
“Sampai sekarang masih bertahan. Saya jual motor, mobil, dan tabungan saya hampir habis selama dua tahun pandemi ini. Hampir setengah miliar rupiah. Tidak ada pemasukan selama berbulan-bulan loh,” ujar Gunawan.
“Waktu awal PSBB kami sempat optimis wisata tidak terdampak banyak, eh malah wisata ditutup. Omzet biasanya jutaan kini tanpa pemasukan. Banyak pengusaha batik di sini alih usaha jadi kuliner, masak di rumah dan ditawarkan ke warga,” katanya.
Selama ini, imbuh Gunawan, ekonomi Kampung Batik Kauman hanya mengandalkan dari pariwisata.
Penerapan PPKM akibat pandemi membuat usaha batik terus merosot. Kampung Batik Kauman yang berada di tengah kota Solo ini harus menerima saat penutupan akses jalan saat penerapan level 4. Pasar Klewer ditutup, akses jalan sekitar ditutup, hingga tanpa wisatawan yang berkunjung.
Satu usaha batik di Kampung Batik ini mampu menyerap minimal 10 tenaga kerja mulai dari pembuat pola batik, pembatik tulis atau cap, pemberi warna dan penjemur kain batik, hingga tenaga pemasaran produk batik. Belum para tukang becak, buruh angkut, hingga ribuan pedagang Pasar Klewer.
Pemkot Solo Tata Ulang Kawasan Kampung Batik
Usaha padat karya ini semakin terkikis. Pemkot Solo tak mau industri batik ini tersingkir. Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka berharap perekonomian UMKM batik kembali menggeliat. Menurut Gibran, penataan ulang kawasan Kampung Batik dan teknologi e-commerce menjadi solusi di tengah pandemi.
“Kampung Batik ini kan kampung wisata. Lahan parkir kita sediakan di luar kampung ini, nanti wisatawan masuk sini bisa pakai becak atau jalan kaki. Memang konsepnya jalan-jalan. Wisatawan dari luar daerah atau luar negeri nyaman di sini. Promosi wisata atau produk lewat e-commerce, online,” jelas Gibran.
Ia menegaskan ia mendorong kreativitas industri batik agar tetap menarik, termasuk di generasi muda. Masker batik menjadi produk baru selama pandemi.
Ketua Paguyuban Pengusaha Batik Kauman Solo, Gunawan Setiawan, menjelaskan selama pandemi, keterlibatan generasi muda anak anak dari pelaku usaha batik sangat intens. Menurut Gunawan, produk batik dipasarkan melalui media sosial dan memunculkan produk batik yang digandrungi anak muda.
“Selama beberapa bulan ini dibantu anak-anak muda kanpung Batik, memasarkan produk lewat media sosial, online. Ya memang rasanya beda kalau belanja datang ke sini. Lihat cara membuat batik. Produk batik ada juga yang kita sesuaikan dengan selera anak muda, warna atau motifnya,” ujar Gunawan.
Batik memiliki beragam motif dan maknanya. Tanpa menghilangkan kedua dasar itu, batik tetap menarik bagi generasi muda. Gibran berharap generasi muda tetap bangga memakai batik.
“Sekali lagi saya mengajak anak-anak muda jangan malu pakai batik. Jangan pakai batik pas kondangan atau ngantor saja. Ini batik untuk keseharian. Batik ini aset bangsa Indonesia yang sudah diakui dunia. Anak-anak muda harus berpartisipasi, digitalisasi UMKM batik,” pungkas Gibran. [ys/em]
[ad_2]
Source link