Analisis Konstitusi: Hak Angket DPR dan Hubungannya dengan Lembaga Yudikatif

Dr. Fahri Bachmid, seorang pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia. (Doc.Ist)
Dr. Fahri Bachmid, seorang pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia. (Doc.Ist)

MultiNewsMagazine.com – Seiring dengan wacana usulan Hak Angket terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang diusulkan oleh Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, Dr. Fahri Bachmid, seorang pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia, memberikan pemahaman konstitusionalnya terkait hal tersebut.

Menurut beliau, Hak Angket adalah suatu instrumen yang diberikan kepada DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan Pemerintah yang dianggap memiliki dampak penting, strategis, dan luas pada kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara serta diduga melanggar peraturan perundang-undangan.

Konstitusionalnya Hak Angket ini didasarkan pada UUD 1945, khususnya Pasal 20A ayat (2). Namun, implementasinya mengalami perjalanan yang cukup panjang. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR awalnya mengatur pelaksanaan Hak Angket, namun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 8/PUU-VIII/2010.

Alasan pembatalan ini adalah karena UU 6/1954 tidak sesuai dengan dasar konstitusi UUD 1945, karena dasarnya adalah UUDS 1950, yang berbeda dengan dasar konstitusi UUD 1945.

Oleh karena itu, agar norma Pasal 20A ayat (4) UUD 1945 dapat dijalankan, Hak Angket DPR mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD beserta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014.

Dalam kerangka hukum tata negara, Hak Angket, bersama dengan Hak Menyatakan Pendapat dan Hak Interpelasi, merupakan instrumen pengawasan legislatif terhadap berbagai kebijakan yang diambil oleh eksekutif atau pemerintah.

Ini merupakan salah satu aspek dari upaya DPR untuk memastikan bahwa pemerintah menjalankan kebijakan yang sesuai dengan hukum dan kepentingan masyarakat.

Secara historis, sejarah penggunaan Hak Angket di Indonesia mencatat beberapa kasus, terutama antara 1999 dan 2004.

Beberapa kasus tersebut termasuk Penjualan Tanker Pertamina, Penyelenggaraan Ibadah Haji, Kenaikan Harga BBM, dan Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu Legislatif 2009.

Selain itu, instrumen Hak Angket juga digunakan dalam konteks penyelamatan (bailout) Bank Century dan masalah perpajakan pada tahun 2011.

Namun, dalam konteks usulan Masinton Pasaribu terkait MK, Dr. Fahri Bachmid berpendapat bahwa penggunaan Hak Angket tersebut mungkin tidak tepat dan menyalahi sasaran.

Hak Angket seharusnya digunakan sebagai instrumen pengawasan DPR terhadap pemerintah atau eksekutif, bukan terhadap lembaga yudikatif seperti MK.

Penjelasan dalam Pasal 79 ayat (3) UU RI No. 17/2014 tentang MD3 dengan jelas menyatakan bahwa Hak Angket dimaksudkan untuk mengawasi lembaga eksekutif, yang mencakup Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.

Dengan demikian, Hak Angket seharusnya difokuskan pada pengawasan terhadap lembaga eksekutif, sesuai dengan konstruksi hukum dan ketentuan yang ada.

Upaya untuk menggunakannya terhadap lembaga yudikatif seperti MK dapat menimbulkan pertanyaan tentang kewenangan dan kesesuaian dengan prinsip-prinsip konstitusi yang berlaku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *